Penumpang Gelap di Kelas III Wisata KM Lambelu
Almost Sleepless Night
Seperti biasanya kerja faal badan gw ini, di malam sebelum rencana berpergian, biasanya otak gw dilanda berbagai pikiran "what if's" yang jika diterawang dari segi psikoanalisis mungkin bisa dibilang sebagai suatu jenis anxiety. Begitu banyaknya hal yang masuk ke dalam pikiran tentang "bagaimana ya besok ke Senen" - pertanyaan yang sedikit bodoh mengingat setiap hari gw melalui jalur ini - juga tentang "masih aman gak ya naik kapal laut", "itu tiket pesawat untuk pulang udah dibeliin blom yah", sampai "wah gimana nih suasana lebaran di sana". Fenomena psikosomatis itu akhirnya membawa dampak tubuh yang kurang fit saat bangun keesokan harinya untuk berangkat melakukan perjalanan.
Fenomena ini - sejauh yang gw inget - sudah dimulai sejak pertama kali gw ikut karyawisata kelas 0 kecil. Tujuan ke Gelanggang Samudra Taman Impian Jaya Ancol. Berangkat naik bis Hiba Utama - langganan TK dan SD Yasporbi. Sibuk mereka-reka bagaimana perjalanan karyawisata itu akan berlangsung dengan teman-teman, gw susah tidur dan akhirnya akibat kurang tidur, bangun dalam keadaan cranky. Sesaat sebelum naik ke bus, tepat di depan pintunya, gw muntah. Bingunglah guru-guru pembimbing.
Kejadian itu terjadi berulang kali. Kali ini juga tanpa perkecualian. Susah tidur, sampai lewat tengah malam, bahkan kantuk yang sudah datang sampai pergi lagi berhubung usahanya untuk membuat tubuh gw beristirahat tidak berhasil. Travel Anxiety menahan serangannya. Jadilah une nuit presque blanche, memang bukan a completely sleepless night, tapi cukup membuat badan lemas saat bangun pagi untuk sahur.
Setelah sahur, mata tidak bisa lagi dibawa tidur, jadi akhirnya menonton beberapa acara di TV jadi pilihan. Sebentar-sebentar seolah terjadi fenomena absence of mind. Begitu sampai akhirnya matahari naik di atas ufuk, dan gw mempersiapkan diri untuk berangkat. Tidak banyak tambahan barang untuk diangkut, kecuali seplastik dendeng Balado a la maison buat kompensasi atas makanan di kapal kelas ekonomi yang terkenal lebih parah daripada makanan penjara.
Akhirnya Taksi Juga
Rencananya sih naik PATAS AC Depok - Senen, jadi pagi itu gw bela-belain nunggu di depan gedung Aneka Tambang dengan tas koper dan tas punggung penuh ransum untuk dijalan. Ada yang lewat rute situ pagi hari tanggal 8 November sekitar jam 8? Di situlah gw menunggu bus - lupakan halte - di sebuah bangunan, tepatnya unclassified construction, yang mirip sebuah warung yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya, apalagi oleh pelanggannya. Di atas bangku reyot di bangunan tak bertuan ini gw menunggu bus itu, sambil sesekali memicingkan mata melihat jurusan setiap bus PATAS yang lewat.
Setelah setengah jam menunggu tanpa hasil, akhirnya sebuah bus PATAS yang diperkirakan akan membawa gw ke Senen muncul dari kolong flyover Tanjung Barat. Namun rupanya kecepatannya yang cukup tinggi dan arahnya yang sudah mantap menuju pintu tol membuatnya mengabaikan lambaian tangan gw, yang gw taksir dudah cukup bersemangat. Lewatlah satu kesempatan. Gak ingin menunggu selama sejam untuk bus berikutnya, akhirnya gw stop taksi dengan satu hantu besar di pikiran - BERAPA YAH ARGONYA SAMPAI DI SENEN?
Rupanya hari itu memang rejeki si pak supir, atau lebih tepatnya BlueBird group. Lalu lintas yang super padat tol jagorawi mulai Kampung Rambutan sampai Cawang juga setelah exit Rawanangun, Rawasari sampai Senen membuat argo taksi itu melunjak dan menguras dompet. Belasan kali lipat harga tiket PATAS AC yang meninggalkan gw itu.
Toh, setelah itu kejadian itu tidak mengurangi semangat pulang kampung. Setelah sedikit acara ke Tanah Abang untuk menukarkan tiket kapal yang gak jadi dipakai seorang sepupuku juga singgah di ATM Sarinah untuk menyegarkan isi dompet dan mencari isi film untuk kamera gw yang non digital itu, akhirnya gw kembali ke Senen untuk bersiap-siap, bersama calon penumpang lain - abang dan keluarganya, untuk berangkat ke Tanjung Priok.
Perjalanan Senen - Tanjung Priok lancar, meskipun ada sedikit insiden kunci rumah. Kurang dari setengah jam, taksi sampai di pelabuhan penumpang Tanjung Priok. Tak lama kemudian, kami sudah berada di atas KM Lambelu. Kapal buatan Jerman tahun 1997 ini rupanya diperbantukan untuk melayani rute Tanjung Priok - Belawan pada kesempatan lebaran tahun ini. Kapal yang rutenya bisa dibilang sepanjang nusantara ini - Bitung, Ternate, Ambon, Bau-Bau, Makassar, Surabaya, Tj Priok, Kijang - akhirnya menjadi penyelamat bagi penumpang yang tidak kebagian tiket KM Kelud, yang memang khusus melayani rute Jakarta - Medan.
Kapal dengan rute jauh dan banyak persinggahan ini biasanya memang afkiran dari rute gemuk Jakarta - Medan, jadi kondisinya pasti sudah tidak prima lagi. Kecepatannya sudah tidak bisa digenjot di atas 20 knot lagi, paling banter jalan 16 - 18 saja. Jadi jarak Jakarta - Medan yang bisa dilalap KM Kelud dalam waktu sekitar 40 jam saja akan semakin lama ditempuh di atas kapal ini.
Toh perhitungan bahwa kapal ini bisa sampai di Medan jauh sebelum lebaran jadi faktor plus-plus di atas semua kalkulasi tentang kekurangnyamanan kapal ini. Good price, tolerable comfort. Lagipula dari awal gw memang kepingin merasakan lagi pengalaman berlayar.
Setelah mendapatkan tempat di kelas III Wisata dan menyusun barang-barang, gw naik ke dek 6 untuk menyaksikan kapal mengangkat sauh. Sambil bernostalgia, nyokap pernah bilang kalau saat-saat seperti itu biasanya adalah saat-saat penuh airmata dari mereka yang dilepas dan yang melepas. Lambaian sapu tangan dari pelabuhan yang makin lama makin mengecil seraya kapal bergerak menjauhi pelabuhan sepertinya menjadi ikon kejadian romantis ini. Bayangkan, dulu Jakarta - Medan ditempuh lebih dari tiga hari di dalam kapal Tampomas yang - berhubung menjadi satu-satunya tumpuan transportasi antara kedua kota - sudah habis-habisan digeber membelah laut nyaris nonstop. Jangan tanya soal makanan, apalagi air dan kamar mandi. Menampung air hujan adalah pilihan yang terbaik untuk menyiasati kebutuhan air yang dibatasi kebijakan buka tutup. Tidak mandi mungkin bisa dengan susah payah ditahankan saja, tapi urusan ke belakang? Di KM Tampomas, kondisi toilet yang sulit digambarkan dengan kata-kata, kabarnya sudah cukup untuk menghilangkan mood melepas hajat.
Jadi 'separah-parahnya' KM Lambelu ini, masih beruntunglah gw dengan fasilitas air panas dan dingin yang tersedia setiap saat, ruangan ber-AC, juga ditambah fasilitas Video Game, Karaoke Room, dan 'the notorius' Theatre Kapal.
Tapi sebelum pelayaran ini dapat dinikmati dengan tenang, ada satu prosedur yang harus dilewati: pemeriksaan tiket. Berhubung gw memegang tiket kelas ekonomi - akibat jatah tiket di kelas sudah habis di biro perjalanan - terpaksalah turun ke dek tiga sambil mencari-cari tempat yang kosong. Gambaran kelas ekonomi sekarang ternyata jauh sekali dari pengalaman di KM Bukit Siguntang tahun 1997 dulu. Saat itu, kelas ekonomi sangat bersih dan layak huni, dan paa penumpangnya juga tergolong rapi. Sekarang? Tidak jauh dari keadaan bis ekonomi yang berangkat dari Pulogadung. penuh dengan tumpukan kardus barang bawaan, dengan para penumpang yang terpaksa menahan 'nikmatnya' tidur di atas kasur busa tak beralas.
Untung gw masih punya rencana cadangan: bergabung dengan abang dan keluarganya di kelas III wisata. Jadi setelah berhasil mendapatkan kasur kosong yang lumayan di salah satu aula sebagai tempat yang bisa gw klaim sebagai tempat tidur, gw kemudian bersantai sambil menunggu petugas datang memeriksa tiket. Sebentar kemudian, setelah penumpang diperbolehkan meninggalkan ruangannya, gw sudah bisa menikmati pemandangan matahari tenggelam di perairan selepas kepulauan Seribu.
... World's Worst Caterer
Tak lama setelah magrib datang dan gw melepas puasa hari itu, gw pergi sholat di musholla di dek 6 bagian buritan. Sholat Magrib dan Isya dikumpulkan dan diringkaskan, kewajiban itu gw tunaikan dengan sedikit kerepotan berdiri di tengah ayunan gelombang yang begitu terasa. Tentunya satu kapal pun merasakan hal yang sama. Jadi, hati nyaris terkikik melihat orang lain pun terhuyung-huyung berdiri di tengah barisan sholat. Ups, kembali ke konsentrasi untuk sholat.
Setelah sholat, gw bergegas menuju pantry mendapatkan jatah makan malam. Berhubung pantry sudah tutup - jam makan malam lebih awal sekitar dua jam di atas kapal - akhirnya langsung saja masuk ke dapur dan mengindrai pemandangan yang sama-sekali baru.
Bagaimana menyediakan makanan tiga kali sehari setiap hari selama perjalanan bagi ribuan orang penumpang? Lihat sendiri ke dalam dapur kapal - kalau diperbolehkan, seperti kasus gw ini. Tumpukan kol dan ebrkarung-karung kacang merah di sudut sana, satu dandang besar berisi nasi yang baru saja matang, ikan-ikan yang hampir menemui tanggal kadaluwarsanya, memenuhi setiap jengkal panjang mata juga menyentil ujung-ujung syaraf pembau di rongga hidung. Wuf, surely not an everyday sight. Namun demikian rasa lapar yang belum terpuaskan semenjak berbuka puasa mengalahkan impresi dari pemandangan tersebut. Dengan artis ibukota yang diimpor langsung dari rumah Dendeng Balado yang menjadi bintang utama makan malam, bersama pemeran pembantu hidangan dari pantri kapal, nasi putih, ikan 'entah' masak gulai, dan sayur sop (?) isi kubis dan kacang merah.
Bagaimanapun juga, hats off untuk koki dan kru dapur yang bisa menyediakan makanan yang rasa dan bentuk konsisten di setiap porsinya. Buktinya setiap penumpang dek berkomentar sama "Bah, macam makanan penjara!" Sedikit mengkoreksi, "Makanan penjara sepertinya masih lebih bagus!".
Tak apalah, yang penting di dalam tas masih ada bergelas-gelas Pop Mie, bermacam-macam rasa kripik kentang, dan biskuit yang bisa menghibur.
Seperti biasanya kerja faal badan gw ini, di malam sebelum rencana berpergian, biasanya otak gw dilanda berbagai pikiran "what if's" yang jika diterawang dari segi psikoanalisis mungkin bisa dibilang sebagai suatu jenis anxiety. Begitu banyaknya hal yang masuk ke dalam pikiran tentang "bagaimana ya besok ke Senen" - pertanyaan yang sedikit bodoh mengingat setiap hari gw melalui jalur ini - juga tentang "masih aman gak ya naik kapal laut", "itu tiket pesawat untuk pulang udah dibeliin blom yah", sampai "wah gimana nih suasana lebaran di sana". Fenomena psikosomatis itu akhirnya membawa dampak tubuh yang kurang fit saat bangun keesokan harinya untuk berangkat melakukan perjalanan.
Fenomena ini - sejauh yang gw inget - sudah dimulai sejak pertama kali gw ikut karyawisata kelas 0 kecil. Tujuan ke Gelanggang Samudra Taman Impian Jaya Ancol. Berangkat naik bis Hiba Utama - langganan TK dan SD Yasporbi. Sibuk mereka-reka bagaimana perjalanan karyawisata itu akan berlangsung dengan teman-teman, gw susah tidur dan akhirnya akibat kurang tidur, bangun dalam keadaan cranky. Sesaat sebelum naik ke bus, tepat di depan pintunya, gw muntah. Bingunglah guru-guru pembimbing.
Kejadian itu terjadi berulang kali. Kali ini juga tanpa perkecualian. Susah tidur, sampai lewat tengah malam, bahkan kantuk yang sudah datang sampai pergi lagi berhubung usahanya untuk membuat tubuh gw beristirahat tidak berhasil. Travel Anxiety menahan serangannya. Jadilah une nuit presque blanche, memang bukan a completely sleepless night, tapi cukup membuat badan lemas saat bangun pagi untuk sahur.
Setelah sahur, mata tidak bisa lagi dibawa tidur, jadi akhirnya menonton beberapa acara di TV jadi pilihan. Sebentar-sebentar seolah terjadi fenomena absence of mind. Begitu sampai akhirnya matahari naik di atas ufuk, dan gw mempersiapkan diri untuk berangkat. Tidak banyak tambahan barang untuk diangkut, kecuali seplastik dendeng Balado a la maison buat kompensasi atas makanan di kapal kelas ekonomi yang terkenal lebih parah daripada makanan penjara.
Akhirnya Taksi Juga
Rencananya sih naik PATAS AC Depok - Senen, jadi pagi itu gw bela-belain nunggu di depan gedung Aneka Tambang dengan tas koper dan tas punggung penuh ransum untuk dijalan. Ada yang lewat rute situ pagi hari tanggal 8 November sekitar jam 8? Di situlah gw menunggu bus - lupakan halte - di sebuah bangunan, tepatnya unclassified construction, yang mirip sebuah warung yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya, apalagi oleh pelanggannya. Di atas bangku reyot di bangunan tak bertuan ini gw menunggu bus itu, sambil sesekali memicingkan mata melihat jurusan setiap bus PATAS yang lewat.
Setelah setengah jam menunggu tanpa hasil, akhirnya sebuah bus PATAS yang diperkirakan akan membawa gw ke Senen muncul dari kolong flyover Tanjung Barat. Namun rupanya kecepatannya yang cukup tinggi dan arahnya yang sudah mantap menuju pintu tol membuatnya mengabaikan lambaian tangan gw, yang gw taksir dudah cukup bersemangat. Lewatlah satu kesempatan. Gak ingin menunggu selama sejam untuk bus berikutnya, akhirnya gw stop taksi dengan satu hantu besar di pikiran - BERAPA YAH ARGONYA SAMPAI DI SENEN?
Rupanya hari itu memang rejeki si pak supir, atau lebih tepatnya BlueBird group. Lalu lintas yang super padat tol jagorawi mulai Kampung Rambutan sampai Cawang juga setelah exit Rawanangun, Rawasari sampai Senen membuat argo taksi itu melunjak dan menguras dompet. Belasan kali lipat harga tiket PATAS AC yang meninggalkan gw itu.
Toh, setelah itu kejadian itu tidak mengurangi semangat pulang kampung. Setelah sedikit acara ke Tanah Abang untuk menukarkan tiket kapal yang gak jadi dipakai seorang sepupuku juga singgah di ATM Sarinah untuk menyegarkan isi dompet dan mencari isi film untuk kamera gw yang non digital itu, akhirnya gw kembali ke Senen untuk bersiap-siap, bersama calon penumpang lain - abang dan keluarganya, untuk berangkat ke Tanjung Priok.
Perjalanan Senen - Tanjung Priok lancar, meskipun ada sedikit insiden kunci rumah. Kurang dari setengah jam, taksi sampai di pelabuhan penumpang Tanjung Priok. Tak lama kemudian, kami sudah berada di atas KM Lambelu. Kapal buatan Jerman tahun 1997 ini rupanya diperbantukan untuk melayani rute Tanjung Priok - Belawan pada kesempatan lebaran tahun ini. Kapal yang rutenya bisa dibilang sepanjang nusantara ini - Bitung, Ternate, Ambon, Bau-Bau, Makassar, Surabaya, Tj Priok, Kijang - akhirnya menjadi penyelamat bagi penumpang yang tidak kebagian tiket KM Kelud, yang memang khusus melayani rute Jakarta - Medan.
Kapal dengan rute jauh dan banyak persinggahan ini biasanya memang afkiran dari rute gemuk Jakarta - Medan, jadi kondisinya pasti sudah tidak prima lagi. Kecepatannya sudah tidak bisa digenjot di atas 20 knot lagi, paling banter jalan 16 - 18 saja. Jadi jarak Jakarta - Medan yang bisa dilalap KM Kelud dalam waktu sekitar 40 jam saja akan semakin lama ditempuh di atas kapal ini.
Toh perhitungan bahwa kapal ini bisa sampai di Medan jauh sebelum lebaran jadi faktor plus-plus di atas semua kalkulasi tentang kekurangnyamanan kapal ini. Good price, tolerable comfort. Lagipula dari awal gw memang kepingin merasakan lagi pengalaman berlayar.
Setelah mendapatkan tempat di kelas III Wisata dan menyusun barang-barang, gw naik ke dek 6 untuk menyaksikan kapal mengangkat sauh. Sambil bernostalgia, nyokap pernah bilang kalau saat-saat seperti itu biasanya adalah saat-saat penuh airmata dari mereka yang dilepas dan yang melepas. Lambaian sapu tangan dari pelabuhan yang makin lama makin mengecil seraya kapal bergerak menjauhi pelabuhan sepertinya menjadi ikon kejadian romantis ini. Bayangkan, dulu Jakarta - Medan ditempuh lebih dari tiga hari di dalam kapal Tampomas yang - berhubung menjadi satu-satunya tumpuan transportasi antara kedua kota - sudah habis-habisan digeber membelah laut nyaris nonstop. Jangan tanya soal makanan, apalagi air dan kamar mandi. Menampung air hujan adalah pilihan yang terbaik untuk menyiasati kebutuhan air yang dibatasi kebijakan buka tutup. Tidak mandi mungkin bisa dengan susah payah ditahankan saja, tapi urusan ke belakang? Di KM Tampomas, kondisi toilet yang sulit digambarkan dengan kata-kata, kabarnya sudah cukup untuk menghilangkan mood melepas hajat.
Jadi 'separah-parahnya' KM Lambelu ini, masih beruntunglah gw dengan fasilitas air panas dan dingin yang tersedia setiap saat, ruangan ber-AC, juga ditambah fasilitas Video Game, Karaoke Room, dan 'the notorius' Theatre Kapal.
Tapi sebelum pelayaran ini dapat dinikmati dengan tenang, ada satu prosedur yang harus dilewati: pemeriksaan tiket. Berhubung gw memegang tiket kelas ekonomi - akibat jatah tiket di kelas sudah habis di biro perjalanan - terpaksalah turun ke dek tiga sambil mencari-cari tempat yang kosong. Gambaran kelas ekonomi sekarang ternyata jauh sekali dari pengalaman di KM Bukit Siguntang tahun 1997 dulu. Saat itu, kelas ekonomi sangat bersih dan layak huni, dan paa penumpangnya juga tergolong rapi. Sekarang? Tidak jauh dari keadaan bis ekonomi yang berangkat dari Pulogadung. penuh dengan tumpukan kardus barang bawaan, dengan para penumpang yang terpaksa menahan 'nikmatnya' tidur di atas kasur busa tak beralas.
Untung gw masih punya rencana cadangan: bergabung dengan abang dan keluarganya di kelas III wisata. Jadi setelah berhasil mendapatkan kasur kosong yang lumayan di salah satu aula sebagai tempat yang bisa gw klaim sebagai tempat tidur, gw kemudian bersantai sambil menunggu petugas datang memeriksa tiket. Sebentar kemudian, setelah penumpang diperbolehkan meninggalkan ruangannya, gw sudah bisa menikmati pemandangan matahari tenggelam di perairan selepas kepulauan Seribu.
... World's Worst Caterer
Tak lama setelah magrib datang dan gw melepas puasa hari itu, gw pergi sholat di musholla di dek 6 bagian buritan. Sholat Magrib dan Isya dikumpulkan dan diringkaskan, kewajiban itu gw tunaikan dengan sedikit kerepotan berdiri di tengah ayunan gelombang yang begitu terasa. Tentunya satu kapal pun merasakan hal yang sama. Jadi, hati nyaris terkikik melihat orang lain pun terhuyung-huyung berdiri di tengah barisan sholat. Ups, kembali ke konsentrasi untuk sholat.
Setelah sholat, gw bergegas menuju pantry mendapatkan jatah makan malam. Berhubung pantry sudah tutup - jam makan malam lebih awal sekitar dua jam di atas kapal - akhirnya langsung saja masuk ke dapur dan mengindrai pemandangan yang sama-sekali baru.
Bagaimana menyediakan makanan tiga kali sehari setiap hari selama perjalanan bagi ribuan orang penumpang? Lihat sendiri ke dalam dapur kapal - kalau diperbolehkan, seperti kasus gw ini. Tumpukan kol dan ebrkarung-karung kacang merah di sudut sana, satu dandang besar berisi nasi yang baru saja matang, ikan-ikan yang hampir menemui tanggal kadaluwarsanya, memenuhi setiap jengkal panjang mata juga menyentil ujung-ujung syaraf pembau di rongga hidung. Wuf, surely not an everyday sight. Namun demikian rasa lapar yang belum terpuaskan semenjak berbuka puasa mengalahkan impresi dari pemandangan tersebut. Dengan artis ibukota yang diimpor langsung dari rumah Dendeng Balado yang menjadi bintang utama makan malam, bersama pemeran pembantu hidangan dari pantri kapal, nasi putih, ikan 'entah' masak gulai, dan sayur sop (?) isi kubis dan kacang merah.
My review
Rice: well-cooked and edible, grade B-
Fish gulai: a little bit too fishy, caught between the nice yellow impression and a half-raw and thorny condition, grade C
Cabbage and red bean soup a la mer: too ordinary, too salty, too little, grade C-
And the spotlight's on Fried Meat au Piment: superbly crunchy and spiced just right with juicy red hot sauce, grade A+
Bagaimanapun juga, hats off untuk koki dan kru dapur yang bisa menyediakan makanan yang rasa dan bentuk konsisten di setiap porsinya. Buktinya setiap penumpang dek berkomentar sama "Bah, macam makanan penjara!" Sedikit mengkoreksi, "Makanan penjara sepertinya masih lebih bagus!".
Tak apalah, yang penting di dalam tas masih ada bergelas-gelas Pop Mie, bermacam-macam rasa kripik kentang, dan biskuit yang bisa menghibur.
Comments