SBY - JKT Rp 158 ribu, SBY - BDG 356 ribu? Kok Bisa?

Bagi kita pengguna jasa angkutan udara, tarif perjalanan udara yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan sering kali di luar jangkauan daya nalar kita. Ketatnya persaingan antarmaskapai penerbangan membuat perang tarif menjadi pilihan menarik untuk menggaet sebanyak-banyaknya penumpang. Tapi mengapa tetap saja kita bertanya-tanya mengapa maskapai penerbangan bisa menetapkan angka yang begitu ajaib?

Contohnya begini.
Tiket Air Asia Bandung - Kuala Lumpur Rp 199 ribu sedangkan Kuala Lumpur Bandung cuma Rp 99 ribu. Apa jarak pergi dan pulang 2 berbanding 1? What kind of world do we live in?

Atau yang lain lagi. Tiket penerbangan Surabaya - Jakarta ditawarkan sebesar Rp 158 ribu, sedangkan Surabaya - Bandung Rp 356 ribu. Kok bisa?

Kita yang merasa pernah belajar Geografi di Sekolah Dasar pasti kebingungan, kenapa tiket untuk penerbangan ke Jakarta yang lebih jauh jaraknya dari Surabaya bisa jauh lebih murah daripada tiket ke Bandung.

Actually, there's nothing magical about that. Kita yang awam cuma memasukkan jarak fisik kedua kota itu saja ke dalam perhitungan tiket. Namun pihak maskapai penerbangan sebenarnya mempunyai banyak pertimbangan lain sebelum memutuskan tarif semacam itu.

KONDISI GEOGRAFIS. Sesuai data yang ada, Bandara Juanda ( WRSJ-SUB) terletak pada elevasi/ketinggian 3 meter diatas permukaan laut (MSL), Bandara Soekarno-Hatta (WIII-CKG) di ketinggian 10 meter, sedangkan Lanud Husein Sastranegara terletak di ketinggian 740m. Jadi jelas bahwa jalur dari Surabaya ke Bandung itu lebih 'nanjak' dan tentu saja membutuhkan lebih banyak bahan bakar dibandingkan jalur Surabaya - Jakarta yang relatif datar sehingga lebih 'ngirit' bahan bakar.

JARAK. Tarif pesawat dihitung dari besaran 'average fare per mile' yang berbanding lurus terhadap jarak; semakin jauh semakin mahal. Maka tarif tiket Surabaya-Jakarta tentu jauh lebih murah karena jaraknya yang saling berdekatan dengan pantai dibandingkan Bandung yang jaraknya relatif jauh dari pantai.


PROFIL PENUMPANG. Berdasarkan survey terhadap penumpang pesawat dari Surabaya, mereka yang berangkat dengan tujuan ke Jakarta adalah dalam rangka 'Bisnis' (baca: cari duit), sedangkan mereka yang berangkat ke Bandung sebagian besar dalam rangka 'Shopping' (baca:buang duit) seiring makin menjamurnya Factory Outlet di kota kembang tersebut. Maka diadakanlah program tarif bersubsidi silang untuk meringankan ongkos penumpang yang sedang kesusahan cari duit.

OPERATIONAL COST. Biaya pelayanan penumpang tujuan Bandung biasanya lebih mahal, karena mereka menuntut nasi timbel panas, sayur lalaban segar, gurame goreng, pete bakar, sambal cobek terasi dan es kelapa muda lengkap dengan batoknya. Hal ini tentu menimbulkan biaya tambahan karena mempersiapkan dan memasak hidangan ini di pesawat tentu lebih sulit dibandingkan katering siap-saji biasa yang cukup dihangatkan dalam microwave.

LOAD FACTOR. Kapasitas angkut penumpang terpaksa dikurangi hingga 30-40% agar dapat memuat set cobek sambal, kelapa dewegan, panggangan ikan, kobokan tangan dll tanpa melebihi batas Maximum Take-Off Weight. Passanger seat pun terpaksa dicabut karena penumpang lebih memilih duduk lesehan di tikar, "Ameh sarasa di saung" kata mereka.

NAVIGASI. Dibandingkan Jakarta, papan penunjuk arah jalan di kota Bandung sering tidak jelas dan membingungkan. Sering terjadi pilot salah belok dan kemudian terjebak jalan satu arah yang ternyata dipadati oleh angkot. Apalagi kemacetan yang terjadi setiap akhir pekan, menuntut pilot bekerja extra untuk menahan pedal kopling lebih lama. Oleh karena itu jangan heran bila banyak pilot yang tidak mau menggunakan argometer dan lebih memilih sistem borongan.

SUKU CADANG. Faktor ketersediaan suku cadang turut berpengaruh therhadap besaran tarif. Bila pesawat mengalami kerusakan di Jakarta, terdapat alternatif pasar suku cadang dengan harga miring di Asem Reges, sebaliknya di Bandung besar kemungkinan justru suku cadang dan komponen pesawat itu yang dipreteli untuk mengisi stok onderdil di pasar Sumur Bandung. Jadi mungkin saja pesawat B737 yang terbang ke Bandung pulangnya berubah wujud menjadi Gantole.

FLIGHT CREW. Prosedur standar penerbangan di Indonesia biasanya menerapkan 2-man cockpit crew. Tapi untuk penerbangan ke Bandung diperlukan crew tambahan selain Captain dan First Officer, yaitu Translator. Hal ini diperlukan untuk mengatasi kendala bahasa yang mungkin terjadi ...


PILOT : "Bandung Tower, selamat siang ... Japati 601 with Bravo, inbound for landing" TOWER : "Japati 601 ... rek naon maneh ka dieu?" PILOT : "Bandung Tower, Japati 601 request permission to land ..." TOWER : "Gelo ... Teu bisa! Ayeuna Persib keur tanding euy ...." TRANSLATOR : "Sok siah ... lamun teu di bere lending, urang baledog ti luhur ..." TOWER : "anjr$%# ...nya sok atuh lah ... klir to len, mangga Japati 601 ...." PILOT : " Affirmative ... Japati 601 cleared to land, Roger ..." TOWER : "Rojer nu mana deui ... ngaran aing mah Asep ... Asep Surasep ti Babakan tea ..."

TERJEMAHAN:

PILOT:Bandung Tower, slmat siang, Merpati 601 with Bravo, mau mendarat.
TOWER: Merpati 601 mau ngapain lo ke sini
PILOT: Bandung Tower , Merpati 601 minta permisi mendarat
TOWER: Gila luh, nggak bisa! Persib lagi ding skrg
PILOT: Awas luh, kalo gak ngasih, gw timpuk dari atas
TOWER: Anjrit, yah terserah deh ... bebas mendarat, silakan merpati 601
PILOT: Affirmative ... Japati 601 siap mendarat
TOWER: Rojer yang mana lagi nih, gw kan namanya Asep, dari Babakan


Jadi nggak ada yang aneh 'kan tentang fenomena penentuan tarif tiket pesawat terbang?

ps:
Dapet lewat chatting sama Aramico yang dapet lewat email

Comments

Popular Posts