Cibodas - Sukabumi
Hari selasa sore, pas semangat kerja sedang berada di titik nadir akibat gangguan virus libur dua hari, tiba-tiba gw dapat kabar yang bagus dari Leman tentang rencana jalan-jalan ke Cibodas. Gw kebagian jadi jatah pengisi acara (apalagi?) dan diharapkan membawa perkakas musikal gw. Selamat tinggal rencana malas-malasan di rumah selama libur tengah minggu ini.
Pulang dari Citos jam sekitar jam sembilan, setelah wara-wiri sekitar tiga jam di sana bareng Titi. Nggak ada rencana ngepak pakaian terlalu heboh, berhubung rencana menginap hanya satu hari. Jadi malam itu cukup dua stel pakaian disiapkan, tanpa dimasukkan dulu ke dalam tas.
Malamnya gw kembali mengalami gejala anxiety, sesuatu yang selalu terjadi setiap malam sebelum gw punya rencana jalan-jalan.
Pagi-pagi, setelah mandi, sambil menunggu jemputan datang, gw sedikit latihan dengan si PSR2100. Satu dua lagu sepertinya sudah cukup untuk pemanasan.
Jalan jagorawi pagi itu cukup lancar. Pagi itu, di sepanjang jalan tol, gw sedikit menguji coverage Esia. Di tempat peristirahatan dekat Sentul, kami berhenti sebentar. Sebagian menikmati sarapannya yang tertunda, sebagian lagi malah bela-belain belanja di Factory Outlet yang punya motto "You'll be naked without us". D'uh! Daripada turun, gw malah milih ngutak-ngatik kamera digital Andre. Jadi pingin beli.
Namun sementara sebagian hati gw merasa senang melihat perjalanan yang cukup lancar tanpa terjebak kemacetan di Gadog, sedikit ruang hati gw malah dipenuhi kekhawatiran.
Saat mengiyakan ajakan untuk membawa PSR2100, gw tidak berpikir sama-sekali mengenai kemungkinan mengambil jalan tikus serta permukaan jalan yang bergelombang dan berlobang. Jadi setiap kali mobil berguncang saat melewati jalanan berlubang, setiap itu juga pikiran gw disergap kekhawatiran mengenai nasib PSR2100 gw di jok belakang.
Ketika lewat jalan alternatif itu, kita sempat tersasar cukup jauh. Akibat kurang bertanya, kita salah mengambil belokan sehingga malah mencapai gerbang peternakan Tapos. Ada hikmahnya juga tersasar seperti itu, minimal jadi tahu dimana lokasi getaway milik keluarga Cendana yang sempat kontroversial itu.
Rupanya dimana ada jalanan rusak, di situ kesempatan orang mengais rejeki barang seribu dua ribu. Lewat jalanan rusak pertama, meluncur kepingan lima ratus. Lewat jalanan rusak berikutnya, kondisinya lebih parah, selembar uang ribuan berpindah tangan ke si 'polisi seceng'. Tapi makin lama keadaan makin mengkhawatirkan, sebab uang receh sudah habis sementara jalanan rusak masih terbentang jauh. Yang berjaga-jaga di pinggir jalan rusak itu juga dari bermacam golongan usia, mulai dari anak-anak pra sekolah sampai aki-aki. Mungkin menjadi 'penjaga tol' jalan rusak sudah menjadi gaya hidup di sini. Atau hobi. Atau alternatif hiburan murah, mudah, berhadiah. Kalau dihitung-hitung uang receh yang habis di sepanjang jalan alternatif itu bisa 15-20 ribu rupiah. Bahkan tarif jalan tol termahal di Indonesia pun belum ada yang semahal itu.
Sekitar jam makan siang, kami sampai di dekat gerbang taman Cibodas. Setelah berhenti sebentar untuk membeli makan siang, kita meluncur masuk ke area Cibodas.
Tenang, ndre. Tsunami gak bakal sampe sini deh.
Hujan lebat menyambut kedatangan para pengunjung. Selain hujan, berbagai pungutan juga menyambut kedatangan kita. Bukan hanya kita mesti membayar uang masuk di gerbang pertama untuk orang dan mobil, berikutnya di parkir ada lagi pungutan siluman yang mesti dibayar. Tidak cukup itu, masuk ke dalam gerbang taman kembali ada harga tanda masuk yang mesti dibayar. Mungkin belum ada istilah tiket terusan di sini. Jadi kepingin pindah ke daerah sini. Selain cuaca yang sejuk, banyak celah untuk mendapatkan uang pungutan dari para wisatawan.
Gw dan Mico di depan gerbang pertama Cibodas. Untung penjaga tiketnya bisa di-CS-in
Di depan WC. Ya ampuun gak bisa milih lokasi yang lebih bagus apa yah?
Kunjungan ke taman Cibodas ini adalah pengobat kekecewaan setelah pada Tahun Baru yang lalu kita tidak berhasil sampai ke sini akibat salah perhitungan mengenai lalu lintas di puncak pada sore itu. Cuma satu yang ingin dilihat di taman hutan raya ini: Air terjun. Iming-iming pemandangan yang bagus yang dijanjikan Mico kali ini harus terbayarkan.
Berhubung hujan masih mengguyur daerah Cibodas, akhirnya kita beristirahat di sebuah warung di area parkir. Sambil menunggu rombongan di mobil-mobil yang lain, kita mengisi perut dengan indomi rebus. Tsunami rupanya masih menjadi topik yang hangat, jadi muncul kalimat-kalimat lucu seperti:
Andre yang merasakan sendiri bagaimana dahsyatnya tsunami cuma cengar-cengir mendengar pembicaraan itu. Memang membanggakan punya teman-teman yang pintar.
Nongkrong di warung. Di latar belakang, Melby sedang menghabiskan jatah ayam goreng KFC dari Nenny, jadi gak begitu tertarik dengan acara foto-foto
Tema yang sama, dari sudut yang berbeda
Ojek payung di depan gerbang taman hutan raya Cibodas.
Sejam kemudian lengkaplah semua teman-teman lengkap sampai di situ, warung sederhana itu menjadi titik tempat berkumpul. Meskipun demikian, ternyata mereka yang baru datang masih terlalu capek untuk langsung berjalan ke air terjun. Maka kami yang sampai duluan memutuskan untuk berangkat pertama.
Ayo keluarin dong gayanya! Pose ke-37: gaya menengok ke atas
Gak abis-abis gayanya nih.
Lima langkah, jepret. Lima langkah, jepret. Andre berdoa semoga tsunami tidak melanda Cibodas
Males basah-basahan, mendingan gw nongkrong di atas batu bareng Doel.
Kalau dingin-dingin begini emang enaknya difoto.
Nenny dan Mico dengan gaya 'figure of 22': basah-basahan sambil satu kaki diangkat ke atas. Rencananya sih mau bikin figure of 28, alumni SMA 28
Fetty datang, semua senang.
Malam menjelang. Karena penginapan di Cibodas sudah habis dibooking, Firstman menawarkan agar rombongan menginap di rumahnya di Sukabumi. Tawaran ini disambut dengan gegap gempita, semeriah ombak tsunami. Dalam hatinya Andre berpikir, tsunami yang dialaminya jauu-u-h lebih menggetarkan. Alih-alih sekedar berjalan sampai ke Cibodas, perjalanan menjadi lebih menarik dengan kesempatan melihat keelokan kota Sukabumi dan wilayah sekitarnya. Di perjalanan, kami singgah di RM Sinta untuk mengisi perut dengan hidangan sate dan sop kambing yang sudah tersohor kelezatannya itu.
Malam itu, di rumah megah milik keluarga Firstman, kami menghabiskan waktu dengan main gaple dan karaokean.
Karaokean terus sampai abis empat buku lirik lagu. Setelah gw capek, Firstman gantian yang memainkan kibor dengan lagu andalan Indomie, seleraku ...
Paginya sekitar jam 10, setelah mandi, karaokean (lagi!), dan menikmati sarapan bubur ayam, kami melanjutkan jalan-jalan ke Mal Sukabumi. Di Jakarta kurang banyak jalan-jalan ke mal? Bukan untuk ngeceng, tapi sekedar untuk mencari tempat untuk mengisi perut. Jadi bubur ayam tadi belum cukup, toh?
Setelah makan siang di food court itu, acara berikutnya adalah menuju Sela Bintana. Lokasinya sekitar lima belas menit saja dari Sukabumi. Meskipun cukup indah, rupanya kami lebih tertarik untuk sekedar foto-foto saja di halaman parkir taman raya ini. Dari situ kami berangkat lagi ke lokasi Air terjun Cicurug. Entah berapa banyak air terjun cicurug di Jawa Barat, namun yang jelas kami datang menengok satu di antaranya yang terletak di daerah Sukabumi. Air terjun yang menurut selentingan lebih menakjubkan dibandingkan air terjun di Cibodas ini berada di lokasi wisata yang juga menyediakan lokasi perkemahan.
Pantang ngeliat jembatan kosong, langsung dipakai jadi lokasi foto.
Lagi-lagi hujan turun lebat. Dalam suasana dingin, kami duduk di satu warung kopi, ditemani minuman bandrek yang hangat dan dentuman menggelegar musik remix dari lagu-lagu Peter Pan, Ada Band, dan Padi. Melby yang rupanya bangkit rindunya akan chill music di club-club Jakarta meminta pemilik warung untuk mengganti musiknya dengan kaset berisi musik ramuan DJ Embassy. Bayangkan atmosfer club yang groovy dinikmati sambil menengguk bandrek shot.
Bareng Siska di area wisata Cicurug. Fetty menunggu giliran sesi foto bareng gw di belakang.
Pulang dari Citos jam sekitar jam sembilan, setelah wara-wiri sekitar tiga jam di sana bareng Titi. Nggak ada rencana ngepak pakaian terlalu heboh, berhubung rencana menginap hanya satu hari. Jadi malam itu cukup dua stel pakaian disiapkan, tanpa dimasukkan dulu ke dalam tas.
Malamnya gw kembali mengalami gejala anxiety, sesuatu yang selalu terjadi setiap malam sebelum gw punya rencana jalan-jalan.
Pagi-pagi, setelah mandi, sambil menunggu jemputan datang, gw sedikit latihan dengan si PSR2100. Satu dua lagu sepertinya sudah cukup untuk pemanasan.
Jalan jagorawi pagi itu cukup lancar. Pagi itu, di sepanjang jalan tol, gw sedikit menguji coverage Esia. Di tempat peristirahatan dekat Sentul, kami berhenti sebentar. Sebagian menikmati sarapannya yang tertunda, sebagian lagi malah bela-belain belanja di Factory Outlet yang punya motto "You'll be naked without us". D'uh! Daripada turun, gw malah milih ngutak-ngatik kamera digital Andre. Jadi pingin beli.
Namun sementara sebagian hati gw merasa senang melihat perjalanan yang cukup lancar tanpa terjebak kemacetan di Gadog, sedikit ruang hati gw malah dipenuhi kekhawatiran.
Saat mengiyakan ajakan untuk membawa PSR2100, gw tidak berpikir sama-sekali mengenai kemungkinan mengambil jalan tikus serta permukaan jalan yang bergelombang dan berlobang. Jadi setiap kali mobil berguncang saat melewati jalanan berlubang, setiap itu juga pikiran gw disergap kekhawatiran mengenai nasib PSR2100 gw di jok belakang.
Ketika lewat jalan alternatif itu, kita sempat tersasar cukup jauh. Akibat kurang bertanya, kita salah mengambil belokan sehingga malah mencapai gerbang peternakan Tapos. Ada hikmahnya juga tersasar seperti itu, minimal jadi tahu dimana lokasi getaway milik keluarga Cendana yang sempat kontroversial itu.
Rupanya dimana ada jalanan rusak, di situ kesempatan orang mengais rejeki barang seribu dua ribu. Lewat jalanan rusak pertama, meluncur kepingan lima ratus. Lewat jalanan rusak berikutnya, kondisinya lebih parah, selembar uang ribuan berpindah tangan ke si 'polisi seceng'. Tapi makin lama keadaan makin mengkhawatirkan, sebab uang receh sudah habis sementara jalanan rusak masih terbentang jauh. Yang berjaga-jaga di pinggir jalan rusak itu juga dari bermacam golongan usia, mulai dari anak-anak pra sekolah sampai aki-aki. Mungkin menjadi 'penjaga tol' jalan rusak sudah menjadi gaya hidup di sini. Atau hobi. Atau alternatif hiburan murah, mudah, berhadiah. Kalau dihitung-hitung uang receh yang habis di sepanjang jalan alternatif itu bisa 15-20 ribu rupiah. Bahkan tarif jalan tol termahal di Indonesia pun belum ada yang semahal itu.
Sekitar jam makan siang, kami sampai di dekat gerbang taman Cibodas. Setelah berhenti sebentar untuk membeli makan siang, kita meluncur masuk ke area Cibodas.
Tenang, ndre. Tsunami gak bakal sampe sini deh.
Hujan lebat menyambut kedatangan para pengunjung. Selain hujan, berbagai pungutan juga menyambut kedatangan kita. Bukan hanya kita mesti membayar uang masuk di gerbang pertama untuk orang dan mobil, berikutnya di parkir ada lagi pungutan siluman yang mesti dibayar. Tidak cukup itu, masuk ke dalam gerbang taman kembali ada harga tanda masuk yang mesti dibayar. Mungkin belum ada istilah tiket terusan di sini. Jadi kepingin pindah ke daerah sini. Selain cuaca yang sejuk, banyak celah untuk mendapatkan uang pungutan dari para wisatawan.
Gw dan Mico di depan gerbang pertama Cibodas. Untung penjaga tiketnya bisa di-CS-in
Di depan WC. Ya ampuun gak bisa milih lokasi yang lebih bagus apa yah?
Kunjungan ke taman Cibodas ini adalah pengobat kekecewaan setelah pada Tahun Baru yang lalu kita tidak berhasil sampai ke sini akibat salah perhitungan mengenai lalu lintas di puncak pada sore itu. Cuma satu yang ingin dilihat di taman hutan raya ini: Air terjun. Iming-iming pemandangan yang bagus yang dijanjikan Mico kali ini harus terbayarkan.
Berhubung hujan masih mengguyur daerah Cibodas, akhirnya kita beristirahat di sebuah warung di area parkir. Sambil menunggu rombongan di mobil-mobil yang lain, kita mengisi perut dengan indomi rebus. Tsunami rupanya masih menjadi topik yang hangat, jadi muncul kalimat-kalimat lucu seperti:
"Eh jangan ngomong macem-macem di sini. Gimana kalo di sini sampe kena tsunami?"
"Kalo di sini tsunami, Bogor kelelep kalee"
Andre yang merasakan sendiri bagaimana dahsyatnya tsunami cuma cengar-cengir mendengar pembicaraan itu. Memang membanggakan punya teman-teman yang pintar.
Nongkrong di warung. Di latar belakang, Melby sedang menghabiskan jatah ayam goreng KFC dari Nenny, jadi gak begitu tertarik dengan acara foto-foto
Tema yang sama, dari sudut yang berbeda
Ojek payung di depan gerbang taman hutan raya Cibodas.
Sejam kemudian lengkaplah semua teman-teman lengkap sampai di situ, warung sederhana itu menjadi titik tempat berkumpul. Meskipun demikian, ternyata mereka yang baru datang masih terlalu capek untuk langsung berjalan ke air terjun. Maka kami yang sampai duluan memutuskan untuk berangkat pertama.
Ayo keluarin dong gayanya! Pose ke-37: gaya menengok ke atas
Gak abis-abis gayanya nih.
Lima langkah, jepret. Lima langkah, jepret. Andre berdoa semoga tsunami tidak melanda Cibodas
Males basah-basahan, mendingan gw nongkrong di atas batu bareng Doel.
Kalau dingin-dingin begini emang enaknya difoto.
Nenny dan Mico dengan gaya 'figure of 22': basah-basahan sambil satu kaki diangkat ke atas. Rencananya sih mau bikin figure of 28, alumni SMA 28
Fetty datang, semua senang.
Malam menjelang. Karena penginapan di Cibodas sudah habis dibooking, Firstman menawarkan agar rombongan menginap di rumahnya di Sukabumi. Tawaran ini disambut dengan gegap gempita, semeriah ombak tsunami. Dalam hatinya Andre berpikir, tsunami yang dialaminya jauu-u-h lebih menggetarkan. Alih-alih sekedar berjalan sampai ke Cibodas, perjalanan menjadi lebih menarik dengan kesempatan melihat keelokan kota Sukabumi dan wilayah sekitarnya. Di perjalanan, kami singgah di RM Sinta untuk mengisi perut dengan hidangan sate dan sop kambing yang sudah tersohor kelezatannya itu.
Malam itu, di rumah megah milik keluarga Firstman, kami menghabiskan waktu dengan main gaple dan karaokean.
Karaokean terus sampai abis empat buku lirik lagu. Setelah gw capek, Firstman gantian yang memainkan kibor dengan lagu andalan Indomie, seleraku ...
Paginya sekitar jam 10, setelah mandi, karaokean (lagi!), dan menikmati sarapan bubur ayam, kami melanjutkan jalan-jalan ke Mal Sukabumi. Di Jakarta kurang banyak jalan-jalan ke mal? Bukan untuk ngeceng, tapi sekedar untuk mencari tempat untuk mengisi perut. Jadi bubur ayam tadi belum cukup, toh?
Setelah makan siang di food court itu, acara berikutnya adalah menuju Sela Bintana. Lokasinya sekitar lima belas menit saja dari Sukabumi. Meskipun cukup indah, rupanya kami lebih tertarik untuk sekedar foto-foto saja di halaman parkir taman raya ini. Dari situ kami berangkat lagi ke lokasi Air terjun Cicurug. Entah berapa banyak air terjun cicurug di Jawa Barat, namun yang jelas kami datang menengok satu di antaranya yang terletak di daerah Sukabumi. Air terjun yang menurut selentingan lebih menakjubkan dibandingkan air terjun di Cibodas ini berada di lokasi wisata yang juga menyediakan lokasi perkemahan.
Pantang ngeliat jembatan kosong, langsung dipakai jadi lokasi foto.
Lagi-lagi hujan turun lebat. Dalam suasana dingin, kami duduk di satu warung kopi, ditemani minuman bandrek yang hangat dan dentuman menggelegar musik remix dari lagu-lagu Peter Pan, Ada Band, dan Padi. Melby yang rupanya bangkit rindunya akan chill music di club-club Jakarta meminta pemilik warung untuk mengganti musiknya dengan kaset berisi musik ramuan DJ Embassy. Bayangkan atmosfer club yang groovy dinikmati sambil menengguk bandrek shot.
Bareng Siska di area wisata Cicurug. Fetty menunggu giliran sesi foto bareng gw di belakang.
Comments