Senja Utama
Ini bukan kunjungan pertama atau kedua saya ke Solo. Namun perjalanan pulang pergi dengan kereta Senja Utama sedikit banyaknya seperti pengalaman baru juga. Sebab ini adalah perjalanan jauh saya dengan kereta bisnis, setelah terakhir pada akhir tahun 2006 saya pulang pergi Jakarta Malang dengan kereta eksekutif Gajayana yang sangat nyaman. Dulu perjalanan dengan kereta bisnis paling sering adalah dengan kereta Parahyangan Jakarta-Bandung. Setelah jalan tol Cipularang selesai sekitar tahun 2004, praktis moda perjalanan ini sudah saya tinggalkan. Di Sumatra, saya juga memilih kereta Sri Bilah kelas bisnis jurusan Medan - Membang Muda untuk mengunjungi sanak saudara kampung halaman ibunda di tahun 2004.
Musim liburan di mana frekuensi perjalanan kereta bertambah untuk mengakomodasi pertambahan jumlah penumpang tidak membuat perjalanan terganggu. Gerbong kereta Senja Utama sendiri cukup bersih walaupun tanpa AC. Memang sedikit hawa kurang sedap karena posisi tempat duduk bersebelahan dengan toilet yang berkelibat tiap pintu toilet bergeser dibuka. Tapi absennya asap rokok, pengamen, dan peminta-minta sudah membuat saya cukup tenang selama perjalanan.
Perjalanan kereta malam tentunya tidak menyediakan banyak pemandangan persawahan di sepanjang jalur Jakarta - Cirebon - Purwokerto - Yogya - Solo. Berangkat pukul 20.20 tepat dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, kereta berjalan lancar sampai dengan Cirebon, ujung track ganda kereta api. Selanjutnya, kereta banyak berhenti di berbagai stasiun untuk berselisih jalan dengan kereta-kereta lain dari arah yang berlawanan. Tidak banyak yang bisa dilihat di jendela, kebanyakan penumpang memilih untuk menyenderkan kepala ke jendela - sebab kursi tidak bisa direbahkan seperti di kereta eksekutif - dan tidur sebisa-bisanya. Yang tidak bisa tidur, mungkin bisa memilih mengobrol atau membaca, atau mungkin menikmati makanan yang dijajakan oleh petugas restorka dan pedagang asongan yang hilir mudik kala kereta singgah di stasiun.
***
Fajar datang saat kereta menjelang stasiun Kutoarjo. Entah embun, entah gerimis yang membuat cuaca sedikit basah. Kereta sedikit terlambat rupanya. Jam 7 pagi, kereta baru sampai Stasiun Tugu, Yogya. Tapi tidak mengapa. Perjalanan antara Yogya dan Solo selama kurang lebih satu jam bisa dinikmati dengan melihat persawahan yang hijau sedikit menguning yang menghampar luas. Melewati Delanggu, di mana terhampar sawah-sawah padi Rojolele yang terkenal, saya sedikit berseloroh di twitter "Just passing the fields of the cat fish king rice: The Long Goo".
Kereta mengakhiri perjalanan di Stasiun Solo Balapan pukul 8. Seorang tukang ojek menawarkan jasanya untuk mengantarkan saya ke daerah Jebres. "Lima belas ribu," ia mengajukan tarifnya. I'm in holiday mood. Tanpa saya tawar lagi, saya naikkan barang ke motornya lalu saya pun turut di boncengannya.
Di jalan saya mengobrol ringan dengan tukang ojek. Soal cuaca saja, tidak perlu soal politik, apalagi curhat masalah pribadi. Namun kemudian di lampu merah ada insiden kecil yang mengejutkan. Ujung jari kaki kirinya terlindas oleh ban kanan depan mobil suzuki carry di sebelah. Tanpa berteriak, ia menegur supir mobil, "Mas, mundur sedikit kaki saya terlindas." Supir mobil, dengan gugup, sempat malah memajukan mobilnya yang berarti makin melindas ujung kaki tukang ojek. Untungnya dia cepat sadar, memundurkan mobilnya. Insiden tanpa teriakan marah-marah atau caci maki ini membuat saya tersadar: Oh iya, sekarang saya ada di Solo.
Musim liburan di mana frekuensi perjalanan kereta bertambah untuk mengakomodasi pertambahan jumlah penumpang tidak membuat perjalanan terganggu. Gerbong kereta Senja Utama sendiri cukup bersih walaupun tanpa AC. Memang sedikit hawa kurang sedap karena posisi tempat duduk bersebelahan dengan toilet yang berkelibat tiap pintu toilet bergeser dibuka. Tapi absennya asap rokok, pengamen, dan peminta-minta sudah membuat saya cukup tenang selama perjalanan.
Perjalanan kereta malam tentunya tidak menyediakan banyak pemandangan persawahan di sepanjang jalur Jakarta - Cirebon - Purwokerto - Yogya - Solo. Berangkat pukul 20.20 tepat dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, kereta berjalan lancar sampai dengan Cirebon, ujung track ganda kereta api. Selanjutnya, kereta banyak berhenti di berbagai stasiun untuk berselisih jalan dengan kereta-kereta lain dari arah yang berlawanan. Tidak banyak yang bisa dilihat di jendela, kebanyakan penumpang memilih untuk menyenderkan kepala ke jendela - sebab kursi tidak bisa direbahkan seperti di kereta eksekutif - dan tidur sebisa-bisanya. Yang tidak bisa tidur, mungkin bisa memilih mengobrol atau membaca, atau mungkin menikmati makanan yang dijajakan oleh petugas restorka dan pedagang asongan yang hilir mudik kala kereta singgah di stasiun.
***
Fajar datang saat kereta menjelang stasiun Kutoarjo. Entah embun, entah gerimis yang membuat cuaca sedikit basah. Kereta sedikit terlambat rupanya. Jam 7 pagi, kereta baru sampai Stasiun Tugu, Yogya. Tapi tidak mengapa. Perjalanan antara Yogya dan Solo selama kurang lebih satu jam bisa dinikmati dengan melihat persawahan yang hijau sedikit menguning yang menghampar luas. Melewati Delanggu, di mana terhampar sawah-sawah padi Rojolele yang terkenal, saya sedikit berseloroh di twitter "Just passing the fields of the cat fish king rice: The Long Goo".
Kereta mengakhiri perjalanan di Stasiun Solo Balapan pukul 8. Seorang tukang ojek menawarkan jasanya untuk mengantarkan saya ke daerah Jebres. "Lima belas ribu," ia mengajukan tarifnya. I'm in holiday mood. Tanpa saya tawar lagi, saya naikkan barang ke motornya lalu saya pun turut di boncengannya.
Di jalan saya mengobrol ringan dengan tukang ojek. Soal cuaca saja, tidak perlu soal politik, apalagi curhat masalah pribadi. Namun kemudian di lampu merah ada insiden kecil yang mengejutkan. Ujung jari kaki kirinya terlindas oleh ban kanan depan mobil suzuki carry di sebelah. Tanpa berteriak, ia menegur supir mobil, "Mas, mundur sedikit kaki saya terlindas." Supir mobil, dengan gugup, sempat malah memajukan mobilnya yang berarti makin melindas ujung kaki tukang ojek. Untungnya dia cepat sadar, memundurkan mobilnya. Insiden tanpa teriakan marah-marah atau caci maki ini membuat saya tersadar: Oh iya, sekarang saya ada di Solo.
Comments