Kompetisi (I)
Latah. Bukankah itu sesuatu hal yang perlu kita akui sebagai karakteristik dari media televisi Indonesia? Kali ini tambah satu lagi demam yang melanda seluruh kanal TV dan membanjiri otak para pemirsa: demam kompetisi.
Namun demikinan tiada maksud saya untuk memasukkan ke dalam kategori latah ini juga suatu kompetisi lain yang tak kalah serunya bahkan dengan perebutan gelar yang paling bergengsi di negeri ini, yakni Presiden. Tahap Eliminasi sudah dilalui dan kini kita menunggu tahap final di bulan September nanti.
Saya mungkin tidak begitu peduli untuk mengirimkan sms untuk mendukung salah satu akademia, tapi saya cukup sadar untuk menggunakan hak pilih saya di putaran pertama 5 Juli kemarin. Kini, dengan hasil perhitungan sementara, apa boleh buat saya mesti mengakui kekalahan jagoan saya, pak Amien Rais.
Di banyak segi, secara logika, pak Amien Rais adalah kandidat yang paling pantas menjadi pemimpin selanjutnya dari bangsa ini, paling tak bermasalah sehingga akan lebih tenang menyelesaikan masalah bangsa. Toh akhirnya lebih banyak orang yang memilih dengan hati bukan dengan otak. Walaupun inipun masih bisa didebat sebab toh emosi toh dikontrol di otak juga, sama halnya dengan logika.
Bohong juga kalau semua pemilih Amien memang semata-mata hanya menggunakan logikanya. Emosi pasti bermain juga, sebab bukan manusia yang paripurna kalau tak beremosi. Namun memang begitulah resiko demokrasi yang lebih mengutamakan asas satu orang satu suara. Di dalam lembar perhitungan suara, tak terlihat mana suara yang keluar dari hasil berpikir yang matang mana yang keluar dari dorongan emosi, mana yang dibuat untuk menggolkan maksud tertentu mana yang naif, mana suara ulama mana suara preman politik.
Survei boleh mengatakan kalau banyak suara kaum terpelajar (yang menyimbolkan suara dari hasil pemikiran matang) banyak yang pergi ke pasangan nomor 4. Tapi di mana rupanya sya hidup? Saya hidup di negeri yang hidup di dalam mimpi panjang akan kemakmuran, yang rakyat miskinnya hanya bisa bermimpi dapat uang kaget Rp 10 juta dari Mr. Mysteri Man, yang akibat korupsi besar-besaran di tiga Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Agama membuat penyakit, kebodohan, dan kebejatan moral adalah wallpaper di layar mata yang berusaha kita tutupi dengan sedikit pecahahan-pecahan mosaik prestasi Lontong Terbesar, Oli yang paling banyak dipakai selebriti, Gong Terbesar, dan Penabuh Drum Terlama.
Padahal kemiskinan adalah ladang subur bagi janji-janji surga yang aromanya mengalir bersama tebaran nasi bungkus dan selembar uang Rp 50000-an. Yang saya takutkan adalah kalau kemiskinan dan kebodohan dilestarikan semata-mata untuk mengekalkan pula dukungan dari mereka yang terpinggir, yang jauh dari media massa dan realita telanjang mengenai bagaimana ulah politisi. Dalam paranoia saya, mereka tidak akan banyak bedanya dengan politisi-politisi yang sebelumnya mereka hujat dan maki-maki dan mereka nantikan kejatuhannya.
Namun demikinan tiada maksud saya untuk memasukkan ke dalam kategori latah ini juga suatu kompetisi lain yang tak kalah serunya bahkan dengan perebutan gelar yang paling bergengsi di negeri ini, yakni Presiden. Tahap Eliminasi sudah dilalui dan kini kita menunggu tahap final di bulan September nanti.
Saya mungkin tidak begitu peduli untuk mengirimkan sms untuk mendukung salah satu akademia, tapi saya cukup sadar untuk menggunakan hak pilih saya di putaran pertama 5 Juli kemarin. Kini, dengan hasil perhitungan sementara, apa boleh buat saya mesti mengakui kekalahan jagoan saya, pak Amien Rais.
Di banyak segi, secara logika, pak Amien Rais adalah kandidat yang paling pantas menjadi pemimpin selanjutnya dari bangsa ini, paling tak bermasalah sehingga akan lebih tenang menyelesaikan masalah bangsa. Toh akhirnya lebih banyak orang yang memilih dengan hati bukan dengan otak. Walaupun inipun masih bisa didebat sebab toh emosi toh dikontrol di otak juga, sama halnya dengan logika.
Bohong juga kalau semua pemilih Amien memang semata-mata hanya menggunakan logikanya. Emosi pasti bermain juga, sebab bukan manusia yang paripurna kalau tak beremosi. Namun memang begitulah resiko demokrasi yang lebih mengutamakan asas satu orang satu suara. Di dalam lembar perhitungan suara, tak terlihat mana suara yang keluar dari hasil berpikir yang matang mana yang keluar dari dorongan emosi, mana yang dibuat untuk menggolkan maksud tertentu mana yang naif, mana suara ulama mana suara preman politik.
Survei boleh mengatakan kalau banyak suara kaum terpelajar (yang menyimbolkan suara dari hasil pemikiran matang) banyak yang pergi ke pasangan nomor 4. Tapi di mana rupanya sya hidup? Saya hidup di negeri yang hidup di dalam mimpi panjang akan kemakmuran, yang rakyat miskinnya hanya bisa bermimpi dapat uang kaget Rp 10 juta dari Mr. Mysteri Man, yang akibat korupsi besar-besaran di tiga Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Agama membuat penyakit, kebodohan, dan kebejatan moral adalah wallpaper di layar mata yang berusaha kita tutupi dengan sedikit pecahahan-pecahan mosaik prestasi Lontong Terbesar, Oli yang paling banyak dipakai selebriti, Gong Terbesar, dan Penabuh Drum Terlama.
Padahal kemiskinan adalah ladang subur bagi janji-janji surga yang aromanya mengalir bersama tebaran nasi bungkus dan selembar uang Rp 50000-an. Yang saya takutkan adalah kalau kemiskinan dan kebodohan dilestarikan semata-mata untuk mengekalkan pula dukungan dari mereka yang terpinggir, yang jauh dari media massa dan realita telanjang mengenai bagaimana ulah politisi. Dalam paranoia saya, mereka tidak akan banyak bedanya dengan politisi-politisi yang sebelumnya mereka hujat dan maki-maki dan mereka nantikan kejatuhannya.
Presiden ke VI Indonesia menghadap Tuhan, dan bertanya "Tuhan, kapan bangsaku akan merasakan kemakmuran?"
Tuhan menangis dan berlalu.
Comments
bikin bile yang banyak Mar, ntar aku bantu deh idenya :). surat pembaca di bikin blog sudah ada http://epsia.blogspot.com/ tinggal yang bile nih ....
Btw, ttg road trip ke Bandung itu yah persis seperti ceritaku di blog. Baca lagi biar puass.
dengan harga yang super murah.
Terima kasih