Babak-Babak Jiwa dari Jen Shyu

Apa esensi dari bunyi? Begitu salah satu pertanyaan menarik dari
penonton. Entah sulit memaparkannya dalam bahasa indonesia atau memang
tidak siap akan pertanyaan tersebut, Jen Shyu nampak berpikir keras.
Akhirnya ia berusaha meringkasnya menjadi "it's primal", suara itu
sangat mendasar berasal dari dalam jiwa. Namun ia juga percaya akan
keheningan ala John Cage.

Tapi bukan keheningan yang ingin Jen Shyu capai lewat penampilannya
"Inner Chapters" Sabtu malam di teater Salihara. Berbalut gaun putih
karya seorang desainer Indonesia, ia mengawali pesannya lewat vokalisasi
ala tradisi Korea, yang ditingkahi gerak tubuh dan bunyi gemerincing
lonceng kaki.

Vokalisasi, narasi dan instrumen yang disajikan Jen Shyu malam itu
berkelindan antara tradisi Korea, Timor, Jawa, serta Taiwan. Instrumen
erhu (alat musik gesek), gakim (gitar berbentuk bundar), piano berpadu
dengan narasi portugis, inggris, jawa, mandarin serta kanton. Transisi
dari satu bagian ke bagian lain begitu mulus, tanpa introduksi atau jeda
yang nyata.

Apa pesan yang ingin disampaikannya? Lewat bunyi-bunyian, baik dari
narasi yang diwujudkan oleh vokal maupun dari instrumen, bahkan dari
suara remuknya daun jati yang dipijak atau diremasnya, dia tidak
memaksakan satu interpretasi. "Saya berharap penonton dapat
mendengarnya, meresapinya, lalu menafsirkan sendiri pesan mana yang mau
mereka masing-masing ambil". Tapi setidaknya ada tema utama dari semua
pesan-pesan tersebut, "Saya berharap bisa mewakili suara mereka yang
tidak dapat bersuara". Perempuan, orang miskin, atau orang-orang yang
dibungkam.

Dia juga tidak setengah-setengah dalam menyampaikan pesannya. "Saya
membakar tangan saya sendiri". Ia menunjukkan telapak tangannya yang
terbakar sedikit saat meraih nyala api dari ujung hio untuk
memadamkannya. Nyala api yang memang cukup besar dari hio, tidak
benar-benar direncanakannya, tapi rupanya sejalan dengan narasi vokalnya
"... I had fire in my hand, and water in the other".

Yang menjadi landasan kuat teknis bermusiknya adalah musik klasik dan
jazz. "Saya juga sempat tampil di panggung bermain jazz, dengan gaya
seksi", selorohnya. Namun kini seniwati berdarah Taiwan dan Timor Timur
ini mengakui kalau kini ia tengah gandrung dengan bebunyian tradisional.
"Saya juga senang sesuatu yang berbau magis, " jelasnya seolah menjawab
pertanyaan mengapa perlu ada unsur hio, kain-kain panjang warna putih
sebagai dekorasi panggung. Tapi satu unsur dekorasi yang rupanya sangat
disukainya: daun jati. "Saya membelinya di Pasar Legi, cium saja, harum
sekali," paparnya seraya tersenyum dan membagi-bagikannya kepada para
penonton saat sei tanya jawab seusai pertunjukan.

Silakan menelaah laman http://www.jenshyu.com/ ,
http://jenshyu.bandcamp.com/ dan
http://salihara.org/event/2012/03/16/inner-chapters

Comments

Popular Posts