Buruan! jadi Buronan

Pertama kali saya melihat poster film ini terpampang di sebuah sudut di kawasan Senen, saya tertawa saja dalam hati, "Alamat rame nih!" Bukannya saya jenius bisa meramal hari esok, tapi firasat saya yang kenyang menonton sandiwara 'kemurnian' budaya timur dan 'kebrengsekan' modernisasi ala barat dengan jujur berpendapat bahwa sensasi semacam ini pasti segera menjadi boom besar yang segera habis-habisan dioleh media untuk dicekoki kepada publik. Bahwa akan ada pihak-pihak yang dikambinghitamkan dan saling tuding akan terjadi.

Bahwa individualitas yang seharusnya menjadi cikal bakal keanekaragaman -- bayangkan keanekaragaman yang tidak hanya terjadi dari segi suku, tapi lebih fine-grained sampai ke tingkat perseorangan -- justru malah muncul keseragaman. Dalam kasus ini, remaja ingin menjadi individu yang berbeda dan lepas dari komunitasnya, bukannya menjadi sesuatu yang unik tetapi justru bergabung dengan komunitas lain. Remaja di sudut-sudut kampung di Pengalengan, Kandangan, Pematang Siantar, dan Tarakan melepaskan diri dari komunitasnya dan memilih bergabung dengan komunitas lain, yakni komunitas remaja yang nge-Jakarta lewat saluran tabloid dan sinetron gaul. Jika kita lanjutkan, komunitas ini tentunya berinduk kepada komunitas remaja MTV.

Jadi apanya yang unik tentang itu?

Jadi kalau ada ciuman yang bermasalah di film "Buruan Cium Gue!", menurut produsernya -- tentu sebagai pembelaan -- itu adalah sekedar penggambaran kehidupan 'remaja masa kini'. Remaja yang membaca tabloid gaul dan menonton sinetron "Inikah rasanya?". Remaja yang berpendapat bahwa cheerleading dan skateboarding adalah kegiatan positif.

Penggambaran atau penarikan kesimpulan yang kelewatan umum? Kita mungkin lebih kesal jika masyarakat dunia menyebut Indonesia adalah Bali, bahwa sekelumit kehidupan di pulau Bali adalah cukup untuk mewakili muka seluruh Indonesia. Generalisasi seringkali menyesatkan.

Bagimana jika ternyata Statistik yang berbicara? Heh, apakah ada survei yang menyimpulkan demikianlah wajah umum kehidupan remaja Jakarta, panutan remaja Indonesia? Tidak usah dijawab pertanyaan ini, sebab bagaimanapun saya masih percaya bahwa statistics is just another big white lie.

Namun saya tidak ingin menyalahkan produsernya karena ingin mengangkat sisi menarik dari ABG. Bagaimana kalau kita lihat saja materi film yang diperdebatkan ini?

Seperti halnya banyak orang yang mempermasalahkan film ini, saya juga membuat penilaian saya sekedar berdasarkan trailernya, atau paling banter berdasarkan informasi orang yang cukup berani -- atau lebih tepatnya punya cukup uang dan waktu untuk disia-siakan -- menontonnya. Kesimpulan saya: Tidak lebih dari program "Layar Tancap" di Lativi (a.k.a Lacur TV) yang sekali dua kali saya tonton sekedar sebagai metode untuk menghilangkan sulit tidur daripada harus menghitungi domba yang melompat. Cerita yang jelek dan -- yang katanya justru adalah inti -- adegan panas yang disensor. Jadi memang tidak jelas lagi apa yang dicari dalam menonton film itu.

Kalau toh demikian, mengapa akhirnya jadi polemik? Begini pendapat saya:

Karena ini tentang remaja
Kisah eksperimen ciuman yang dilakukan remaja anak sekolahan jelas-jelas lebih bermasalah daripada ciuman antarpria dewasa profesional di film "Arisan!"

Karena wanita-wanita berbikini yang lebih muda dan cantik
Sepuluh tahun yang lalu adegan para pemuja matahari pantai di film Warkop DKI -- yang padahal sampai sekarang masih sering ditayangkan di jam-jam yang kurang populer -- tidak sampai memicu perdebatan seheboh sekarang. Tentu karena yang ditampilkan adalah remaja tanpa dandanan yang jadul.

Karena judul yang kurang 'etis'
Pilihan judul yang mengutarakan pesan ciuman dalam bahasa Indonesia adalah kesalahan terbesar yang dilakukan oleh produser. Sesuatu yang lebih berkelas seperti 'Eiffel, I'm in Love' atau 'Ada Apa dengan Cinta' atau 'Petualangan Sherina', meskipun menawarkan hal yang kurang lebih sama, tentunya lebih berterima.

Karena ini adalah film Indonesia
Adegan ciuman standar ending film Hollywood jauh lebih aman dibandingkan ciuman antara remaja Indonesia. Sebab tidak ada alasan yang penting yang menjustifikasi terjadinya ciuman di film Indonesia, seperti klimaks dalam kejar-kejaran di film Speed atau melepas kekasih pergi dalam misi menyelamatkan bumi di film Armageddon.

Semuanya itu, ditambah lagi trauma akan kasus tragedi cinta yang berujung tewasnya Amanda -- yang kurang lebih juga menyangkut kehidupan remaja --, membuat 'Buruan Cium Gue' bersalah sesuai dakwaan. Para pemeran, selain tentunya produser, segera dimahmilubkan dan kita menjadi jurinya. Setidaknya lumayan untuk mengisi headline selama seminggu ini.

Comments

eyi said…
suit suit suit suit...!! gile umaaar... Baru ditantangim ngepost langsung ngepost tiga biji sekaligus gini :D
hehehe, terus terang gue belum baca yg manapun, mar, tapi udah gatel pengen komen . hehehehehehe....
metty said…
Bagus juga sih udah mulai ada yg berani menggugat. Mdh2an aja nggak berhenti sampai di situ, soalnya selama production house di Indonesia cuma bisa bikin sinetron murahan dan tayangan infotainment, mending kita mimpi aja terus bisa pny film/tivi dg acara2 yg bermutu dan mendidik.

Popular Posts