Tikus-Tikus dan Upacara Bendera

Apa makna upacara bendera?

Sepertinya belum lama berlalu saat saya begitu kagumnya memperhatikan pasukan 17, 8 dan 45 berbaris serentak dengan sejumlah manuver yang tidak mungkin dilakukan oleh siswa ber-IQ rata-rata, menjalankan tugasnya di hadapan ribuan pasang mata yang hadir langsung di halaman istana negara ditambah beberapa juta lagi dari pemirsa TV.
Kebanggaan bukan hanya milik mereka yang bertugas, tetapi juga orang tua, keluarga, kawan, guru, juga siapa pun yang merasa memiliki hubungan dengan mereka.

Saat itu kebanyakan kita masih belum melihat apa yang tidak kasat mata mungkin. Yang bisa melihat apa yang tidak kasat mata pun pasti tidak berkesempatan menuliskannya, apalagi di blog seperti yang saya lakukan ini.

Adalah kita bangsa yang lebih suka akan 'kerumitan' dalam ritual. Jangan sampai ada penyederhanaan dan kemudahan, sebab kerumitan di sini bermakna keagungan, grandeur, dan kemasyhuran. Maka kegiatan sesederhana menaikkan bendera ke ujung tiang, yang di sekolah-sekolah setiap hari Senin cukup dilakukan oleh tiga orang, menjadi sesuatu kerumitan yang dibakukan sehingga menjadi layak ditampilkan di muka istana.

Pemilihan mereka yang pantas melakukan tugas sebagai pengibar bendera ini memang telah lama ada jauh sebelum demam kompetisi merajai layar tv. Kalau memang pemilihan ini adalah benar-benar 'ajang pemilihan siswa berprestasi' setidaknya tiru cara Akademi Fantasia Indonesia. Setidaknya pemasukan dari penayangan iklan adalah dana yang mereka habiskan, bukan uang rakyat yang diperoleh melalui mekanisme pajak.

Apalagi melihat tikus-tikus berdasi dan berkonde dengan wajah jumawa berdiri serentak di bawah tenda dingin berpendingin udara menghormat kepada sang Merah Putih, padahal kita tahu kelakuan mereka sehari-hari, kebanyakan adalah justru memantatinya. Cinta tanah air bagi mereka adalah 'cinta adalah memiliki', maka jika memiliki adalah menguasai secara mutlak, tindakan menjual tanah air adalah ekspresinya. L'etat c'est moi, dan oleh karenanya saya merasa kasihan terhadap keluarga kerajaan Prancis yang merasakan tajamnya Guillotine, hanya karena mereka memakan harta rakyatnya yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan penjarahan di sini.

Lagu himne yang berisi puji-pujian terhadap tanah air serasa hampa tak bernyawa saat kita tahu bahwa maknanya kini jauh bergeser menjadi sekedar lip service, bahkan ironisme belaka. Walaupun masih ada yang saya percayai dari sekian banyak pesan dalam lagu-lagu tersebut, yakni bahwa Indonesia adalah tanah yang kaya raya. Tidak ada lembaga yang bisa bertahan selama 59 tahun padahal setiap harinya dirampok bertrilyun-trilyun.

Kalau tidak ada lagi perasaan cinta tanah air yang meluap-luap saat mengangkat tangan dan merapikan posisinya di depan kening kita di depan bendera merah putih, apa artinya yang kita lakukan itu?

Apakah kita akhirnya sekedar menjadi orang bodoh yang memberi hormat kepada selembar kain yang berkibar di ujung tiang?

Apalagi yang keramat dari angka-angka 17, 8, dan 45? Turunkah derajatnya menjadi sekedar inspirasi para pemasang togel?


Comments

eyi said…
komen kedua gue hari ini di blog lo:) -->

yang ini keren bgt, mar. keep writing, ya bro!
Yah, artinya adalah seperti yang kamu tulis, Mar: ritual. Di setiap komunitas ada facade, atau topeng, yang ditampilkan sebagai simbolisme bahwa semua baik-baik saja.

Dari dulu juga tidak pernah baik-baik saja. Tapi dulu kebencian pada institusi dan sistem masih bisa ditandingin dengan kecintaan pada negeri. Tapi itu dulu. Sudah tidak bisa lagi institusi menekan personil secara sosial untuk "menghargai bangsa atau perjuangan para pahlawan" dengan parameter khusyuknya upacara.

Setidaknya upacara yang tidak ditayangkan langsung di TV. Karena barisan belakang biasanya mengepul lah asap rokok.
ojochan said…
very well said, umar. this is one superb blog-entry.

Popular Posts