Kapten Lebih Tahu: Akhirnya Mendarat di Belawan Jam 9 Malam

Untold Stories of Ramadhan 1425 H - Dua hari lebih di atas kapal

Are we there yet? Are we there yet? Are we there yet?
Prasangka baik bahwa kapal akan sampai jam sebelas pagi tanggal 10 November membuat gw kalap menghabiskan perbekalan. Ternyata waktu mendarat jauh meleset dari kebiasaan. Gosip pertama gw dengar saat berjalan-jalan di dekat haluan dan tidak sengaja mendengar kabar bahwa kapal akan sampai paling cepat jam 4 sore. Opini ini diperkuat dengan kenyataan bahwa KM Lambelu hanya bisa digeber maksimum 16 knot dan persinggahan di Kijang menambah lamanya perjalanan sekitar enam jam. Bah!

Namun di dek penumpang, pendapat-pendapat versi lain pindah dari mulut ke mulut dengan cepat. Bahkan pendapat kru kapal pun simpang siur. Pendapat yang optimistis mengatakan bahwa kapal akan tiba pukul 3 sore. Namun pendapat yang pesimistis memperkirakan kapal baru bisa sampai di Belawan pukul 9 malam. Di keadaan yang serba tidak jelas, ternyata banyak bertanya tidak membantu sama sekali. Cara yang terbaik akhirnya adalah mencari kegiatan lain untuk membunuh kebosanan akibat ekspektasi yang tidak terpenuhi walaupun akhirnya mood untuk sumbang suara sumbang di ruang karaoke tidak bisa dibangun lagi.

Yang gawat adalah, akhirnya gw terpaksa menggunakan fasilitas telpon satelit yang bertarif selangit itu untuk memberi kabar ke Medan. Jangan-jangan ada kongkalikong juga antara awak kapal untuk menciptakan gosip yang akan berdampak pada keuntungan besar dari penggunaan wartel.

Apa tandanya kota Belawan? Lampunya merah sebelah kiri

Menjelang malam, kabar yang bunyinya lebih indah dari azan magrib sore itu bergema "Kita akan sampai di pelabuhan Belawan satu jam lagi." Wah, satu jam dari saat itu adalah jam setengah tujuh malam. Perasaan senang tergambar di air muka semua penumpang, membayangkan kapal akan segera menyudahi perjalanannya.

Kabar itu segera menjelma menjadi kenyataan. Lampu-lampu dari pelabuhan dan kapal-kapal yang tengah sandar mulai muncul di tengah kegelapan malam. Garis lansekap dari pulau Sumatera telah nampak samar-samar apabila mata dikernyitkan sekuat-kuatnya. Suasana "sudah sampai di kampung" terbit di dalam rongga dada. Baru tersadar sekarang diri kini berada 1800 mil dari Jakarta.

Banyak penumpang yang sudah tidak sadar segera membenahi barang dan bergegas menuju pintu keluar. Karena enggan berdesak-desakan, gw beserta rombongan tidak serta merta ikut mainstream. Kami memilih bersantai-santai dulu di kamar sambil menunggu pengumuman lebih lanjut walaupun koper-koper sudah dibenahi dan dikumpulkan.

Rupanya kapal tidak bisa segera merapat. Ada satu prosedur lagi yang mesti dilalui: menunggu kapal pandu untuk menariknya ke tepi pelabuhan. Terpaksalah kapal menunggu sekitar satu jam lagi di pintu masuk ke pelabuhan Belawan. Bahkan setelah kapal sampai pun, para penumpang harus menunggu kapal ditambatkan, tangga dipasang, dan pintu dibuka yang akhirnya menghabiskan waktu sekitar satu jam lagi.

Selain harus direpotkan di dalam antrian panjang, penumpang yang hendak turun juga harus bersiap-siap menghadapi serbuan para kuli panggul yang dengan agresif menjemput peluang dengan sapaan khas Medan yang mungkin terdengar beringas.

Penyambutan Tanpa Karpet Merah

Sambutan khas Medan belum berhenti sampai di situ. Begitu badan akhirnya sampai di gerbang terminal penumpang, rombongan penjemput rupanya sudah tidak sabaran lagi menunggu. Saat kami memutuskan untuk berdiri di belakang pagar daripada harus repot mencari penjemput kami di tengah-tengah lautan orang Medan yang sedang tidak sabar, posisi kami rupanya menghalangi sebagian penjemput. Kami tidak perlu menunggu sampai satu detik sebelum diteriaki "WOOI, PINGGIR LAH SIKIT BAH. TAK NAMPAK KAMI. YANG KAMI JEMPUT NI PENDEK PULAK BADANNYA" dengan intensitas suara mirip Concorde yang hendak lepas landas. Gw ada di Medan di sekarang. Bukan hanya kami yang terkena, penumpang lain yang di tengah kerinduan yang memuncak berangkulan dengan sanak saudara yang menjemputnya juga diteriaki "BAH, TAK USAHLAH BIKIN SINETRON DI SINI." Ini Medan saudara-saudara.

Sebelum pemandangan yang dramatis dan tabu bagi jantung yang lemah ini menghabisi kami, akhirnya kami bertemu dengan penjemput yang kami cari-cari. Abang sepupu gw ini rupanya juga sudah kelelahan menunggu kapal sejak jam tujuh malam, saat KM Lambelu yang sedang menunggu datangnya kapal pandu masih nampak sebagai titik cahaya saja dari terminal penumpang. Lima menit kemudian mobil yang membawa kami sudah meluncur di melintasi tol Belawan - Tj Morawa menuju kota Medan.

Comments

Ginanjar Utama said…
harusnya jadi novel nih Mar, kayak NH Dini, (di atas kapal kalo nggak salah judulnya) atau "Tenggelamnya kapal van der wick" karya buya hamka .....

ke serpong yuk, menjaring masa depan

Popular Posts