Dalam kebaikan dan ketakwaan, jangan dalam dosa dan permusuhan ...

Tidak salah pemeo yang mengatakan "Tidak ada kawan abadi atau musuh abadi dalam kejahatan". Ganti 'kejahatan' dengan 'politik', maka kita akan mendapatkan pemeo yang nyaris sama artinya.

Tengok Mulyana Kusumah dan Said Agil Husin Al Munawar. Buat apa menangis sendiri dalam penderitaan di bawah interograsi polisi jika bisa menghadirkan kawan-kawan yang pernah mencicipi kenikmatan hasil dari kejahatan yang dituduhkan kepada masing-masing mereka. Bernyanyi saja, sebutkan siapa lagi yang bisa ditarik untuk bisa bersama-sama juga menikmati segala bentuk dakwaan dari penegak hukum. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Sungguh gambaran yang sangat jelas dari semangat gotong royong rakyat Indonesia.

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan"


Para pejabat yang ikutan naik haji abidin (atas biaya dinas) pasti tidak pernah berpikir dua kali atas undangan naik haji dari menteri agama, apalagi kalau dihiasi 'misi yang mulia' sebagai amirul haj Indonesia. Tidak perlu ada analisis mengenai dari mana dana yang dipakai untuk memberangkatkannya (seringkali bersama istri atau kerabat lainnya) dan memberinya tempat menginap dan makanan kelas VVIP di tanah suci. Pasti tidak terlintas sama sekali di pikiran mereka bahwa mereka menikmati pelayanan premium atas belas kasihan para jemaah haji lainnya.

Mereka, para jemaah haji itu, yang dengan sabar menaati pembayaran ONH yang mesti dilunasi enam bulan sebelum keberangkatan 'untuk memastikan tempat', padahal para pejabat itu duluan yang telah memperoleh alokasi tempat pertama bahkan tanpa membayar. Jemaah haji itu yang dengan sabar mengikuti perlakuan petugas pendaftaran yang seringkali tidak manusiawi, bertele-tele, tidak komprehensif, dan seringkali manipulatif, menerima semua perlakuan tersebut sebagai 'ujian atas kesabaran'. Jemaah haji itu yang rela berimpit-impitan di dalam pesawat serta pemondokan di tanah suci, mengumpulkan tenaga untuk menjalankan ibadah yang menuntun energi prima dari hidangan katering yang seadanya dengan perasaan besar hati, "yah namanya juga ibadah". Merekalah yang kebanyakan telah menyimpan keinginan untuk ziarah ke tanah suci selama bertahun-tahun dalam hidupnya, sambil menyisihkan rupiah demi rupiah dari rezeki yang seringkali tak berkelebihan. Sampai akhirnya mereka bisa berangkat juga, namun setelah menyisihkan sebagian setoran haji mereka itu untuk akhirnya memberangkatkan amirul haj beserta keluarganya.

Mana semangat melayani tamu-tamu Ar Rahmaan itu?

Sampai di tanah suci, mereka yang membayar ONH pas-pasan tentunya mesti puas dengan pelayanan ekonomi, mereka yang membayar lebih bisa memperoleh pelayanan plus, sementara mereka yang tidak membayar sama sekali layak memperoleh pelayanan sangat sangat istimewa.

Apa jadinya dengan 'meninggalkan harta, jabatan, dan status sosial selama menjalankan ibadah'?

Comments

Popular Posts