Kontemplasi Atas Tubuh dalam Ing Raga

Datang jam setengah delapan pada hari sabtu malam tanggal 6 Oktober kemarin, saya harus menerima kenyataan bahwa tiket sudah habis. Mereka yang masuk ke daftar tunggu pun sama sekali tidak ada yang memperoleh tiket. Inilah bukti antusiasme penikmat seni untuk menyaksikan pertunjukan "Ing Raga", hasil reinterpretasi sang sutradara Yudi Tajuddin terhadap pementasan orisinal Panji Sepuh yang disutradarai Sulistyo Tirtokusumo. Daripada pulang dengan tangan kosong, saya beli sebuah tiket untuk pertunjukkan keesokan harinya.

  Ing Raga

 Enam penari sudah memulai geraknya di panggung dengan berkeliling dengan langkah lambat berlawanan arah jarum jam - awal yang unik. Sebab biasanya, pertunjukan dimulai setelah penonton masuk dan pengumuman mengenai tatacara dikumandangkan. Ini menguatkan kesan teater Ing Raga tak memiliki plot linear. Lakon ini hadir sebagai rangkaian imaji dan suasana yang terus bergerak, dan meskipun berakhir dia tak sepenuhnya berhenti.

  Ing Raga

Set panggung berupa tangga melingkar semacam cuplikan dari mesjid bawah tanah di kompleks Taman Sari yang dibangun Pangeran Mangkubumi pendiri kesultanan Yogyakarta diakui atau tidak menyempurnakan karya ini. Yang membuatnya makin istimewa adalah cucuran hujan yang hadir di panggung - tidak hanya menambah kesan meditatif namun mengubah dinamika gerak penari akibat licinnya lantai serta percikan air.

Goenawan Mohammad memaparkan bahwa Panji Sepuh tidak memiliki plot. Teater ini lebih mengilustrasikan suasana keraton Jawa yang sedang dalam keadaan murung, pada suatu masa akhir kekuasaan serta Bagaimana dalam suasana itu orang menghargai kematian, menghargai tubuh, dan dibebaskan oleh tubuh. Mohammad sendiri menulis tembang jawa dua stanza yang menjadi semacam aria yang dibawakan oleh seorang penari wanita. Tembang tersebut menjadi inti kontemplasi dengan lirik pembuka "Duh Gusti, Opo dosaning raga?" (Duhai Tuhan, apakah dosa tubuh)


Goenawan Mohammad memaparkan bahwa Panji Sepuh tidak memiliki plot. Teater ini lebih mengilustrasikan suasana keraton Jawa yang sedang dalam keadaan murung, pada suatu masa akhir kekuasaan serta Bagaimana dalam suasana itu orang menghargai kematian, menghargai tubuh, dan dibebaskan oleh tubuh. Mohammad sendiri menulis tembang jawa dua stanza yang menjadi semacam aria yang dibawakan oleh seorang penari wanita. Tembang tersebut menjadi inti kontemplasi dengan lirik pembuka "Duh Opo dosaning raga?" (Duhai apakah dosa tubuh)

Meski tanpa plot tetapi tetap ada adegan-adegan yang membangun semacam intensitas menuju klimaks di akhir. Di awali dengan wanita tua yang membasuh wajah dan raga di kolam, kemudian para penari yang bergerak dalam pakem tarian keraton Yogya dengan topeng, sang pangeran yang bermeditasi, berlanjut ke adegan di mana para penari melepaskan dan menghancurkan topeng. Rangkaian tersebut berakhir saat para penari tersebut muncul sebagai kekuatan perempuan yang digambarkan dengan senjata lembing dan kehancuran kekuasaan yang digambarkan oleh terbakarnya payung kerajaan.


Ilustrasi musik yang unik juga menambah kekayaan penampilan teater ini. Jen Shyu, musisi berdarah Taiwan-Timor Leste yang menekuni seni vokal tradisional menambah warna baru pada pertunjukan Ing Raga kali ini. Musisi, komponis, penari yang identik dengan Jazz avant-garde ini melagukan tetembangan Jawa sepanjang pentas dengan permainan solo erhu di beberapa bagian memimpin delapan pengrawit pemain erhu lainnya membawakan tata musik karya Tony Prabowo.

  Ing Ragahttp://salihara.org/community/2012/10/09/tentang-dosa-tubuh
http://syakieb-sungkar.blogspot.com/2012/09/saya-harap-saya-bisa-menulis-novel_2355.html

Comments

Popular Posts