Keraton Kasepuhan, Cirebon

Awalnya dikenal sebagai Keraton Pakungwati, yang diambil dari nama Ratu
Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan
Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa
dalam usia yang sangat tua. Oleh keturunan Sunan Gunung Jati, nama sang
ratu kemudian diabadikan sebagai nama keraton ini. Nama Kasepuhan
kemudian digunakan setelah sejarah pendirian keraton baru yakni Keraton
Kanoman (sepuh=tua, anom=muda).

Memasuki kompleks Keraton, di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup
tinggi dengan tembok bata merah kokoh disekelilingnya. Bangunan ini
bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah
lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Dari tempat ini biasanya Sultan
menyaksikan latihan keprajuritan di alun-alun setiap hari Sabtu.

Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat
tempat bersantai, yang dibangun pada tahun 1800-an. Siti Inggil yang
dalam bahasa Cirebon disebut juga Lemah Duwur (lemah= tanah,
duwur=tinggi) memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek
zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di
sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini
terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika
diartikan adalah tahun 1451 saka yang bertepatan dengan tahun 1529 Masehi.

Seperti halnya di keraton lain di pulau Jawa, lansekap keraton juga
dilengkapi dengan pepohonan Beringin, sawo kecik, dewandaru dan tanjung
yang masing-masing memiliki makna filosofis pengayoman, amal kebaikan,
cahaya penerang serta permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Motif khas yang
banyak ditemui di Keraton ini adalah Mega Mendung yang bermakna
transedental serta Wadasan yang bermakna keteguhan pribadi.

Berbagai artefak sejarah yang dikoleksi Museum Keraton Kasepuhan
menunjukkan bahwa kesultanan ini menjalin hubungan internasional dengan
banyak budaya seperti Arab, India, Tiongkok, Eropa bahkan Afrika.

Comments

Popular Posts