Susahnya numpang kendaraan umum!

Kalo terlalu padat, dapet tempat duduk ato enggak, resikonya gw mesti merelakan privacy zone gw berkurang sampai 0, membaui bermacam-macam bau-bauan manusia dan asap rokok, ditambah mesti ekstra hati-hati atas segala macam bentuk harassment dan pencopetan.

Kalo terlalu kosong, kemungkinan besar gw pasti dapet tempat duduk dan sedikit terbebas dari gangguan-gangguan tadi. Tapi gw bakalan menghadapi resiko baru: dioper

Kebanyakan orang pasti kesel sama acara transfer penumpang antarkendaraan. Repot naik turun lagi, belum kalo bawa banyak barang dan anak-anak, udah gitu kadang-kadang acara transfer ini dilakukan di tengah-tengah jalur cepat yang rawan banget. Yang bikin kesel lagi, penumpang yang tadinya duduk, di bus baru belom tentu dapet duduk.

Penumpang suka ngumpat kadang-kadang cuma dalam hati, tapi sering juga terang-terangan Dasar sopir goblok! Tapi gimana kita mo berharap mendapatkan sopir yang pinter sebab kalo emang dia pinter, gak bakalan dia mau jadi sopir. Kalo ndak goblok, ndak pir-nyopir saya!

Well, kadang-kadang gw berusaha merasionalisasi aja tindakan sopir itu. Gw mikir kali kalo gw berada di posisi sopir itu, gw bakalan bertindak seperti itu dengan alasan efisiensi, banyaknya penumpang per liter konsumsi bensin. Okelah, dia emang butuh duit yang lebih sebagai pendapatan bersih dia setelah dipotong uang setoran, bensin, bayar uang tilang, dan uang preman. Jadi kalo emang mood gw lagi bagus, biasanya gw santai-santai aja kalo mesti ditransfer kayak gitu.

Tapi ada acara transfer lain yang lebih dahsyat dari itu.

Kebayang gimana kejadian transfer 2500 orang dari satu kereta ke kereta lain yang udah berisi 2500 orang juga?

Jadi kemaren sore, gw udah bersukur dapet kereta sore yang longgar (mestinya cobain dulu naik KRL Jabotabek pas rush hour, baru kerasa mana yang disebut longgar mana yang disebut penuh). Tapi kebahagiaan gw itu cuma berlangsung antara Cikini dan Manggarai.

Setelah lima belas menit kereta berhenti, baru petugas stasiun ngaku "Mohon maaf, kereta di jalur 6 masih dalam perbaikan. Silahkan penumpang pindah ke kereta di jalur tujuh yang akan segera berangkat."

Segera setelah itu gw langsung bisa membayangkan gimana keadaan berdesak-desakan yang terjadi di Jamarat di Mina.
Tapi kejadian di stasiun ini kayaknya jauh beda. Soalnya di sini nggak ada jaminan korban bisa langsung masuk surga.

Dua ribuan orang pindah ke kereta di jalur lain. Dan semuanya mesti selesai dalam hitungan detik. Soalnya stasiun gak mau tahu kereta 'kan harus mematuhi jadwal dan gak peduli bahwa turun dari kereta ke tanah (bukan ke lantai peron yang sama tinggi dengan lantai kereta) lalu naik lagi ke kereta lain itu sulit bagi orang-orang yang tingkat kenekatannya kurang dan tingkat kepadatan tulangnya rendah dan gak bakat jadi pemain akrobatik.

Jadi di bawah satu menit, kepadatan di kereta di jalur tujuh menjadi dua kali lipat. Dalam hati cuma ngucap, khas Melayu, "Untung masih dapet tempat berdiri". Memang segera setelahnya, kereta langsung jalan. Cuma rasa syukur gw itu dalam hitungan detik langsung berubah lagi jadi umpatan. Sayup-sayup terdengar suara dari petugas stasiun terdengar lagi, "Kereta di jalur enam sudah selesai diperbaiki. Siap diberangkatkan."

Hebaaaattt! Mestinya petugas stasiun itu terima kasih banyak gw gak kenal sama satu pun pejabat di PT KAI.

Terpaksa gw 'menikmati' berdiri di dalam kereta padat yang perubahan kecepatan saat ngebut dan ngeremnya menyiksa momen inersia gw.

Awas aja! Gw bakalan protes berat kalo sampe naik ojek aja pake ada acara ditransfer-transfer segala!

Comments

Popular Posts