May Day 2006
Wapres Jusuf Kalla menghimbau agar perayaan Hari Buruh Sedunia dilakukan dalam suasana suka cita. Sayangnya imbauan tersebut tidak diiringi dengan pengumuman kenaikan UMR sebesar 200 persen dan menjadikan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Padahal kalau kabar gembira tersebut yang didengar oleh para buruh, pasti suasana gembira akan menyelimuti peringatan May Day. Tidak hanya buruh yang akan bergembira, bahkan masyarakat lainnya akan menyambut dengan senang tambahan hari libur tersebut.
Antisipasi Polri memang tidak berlebihan apalagi jika melihat peserta demo yang sampai ratusan ribu itu. Ibaratnya, kalau wakil rakyat turun ke jalan saja pasukan pengamannya bisa belasan. Apalagi ini, rakyat yang turun ke jalan. Jadi anggap saja tindakan yang diambil oleh Polisi ini adalah dalam rangka menghormati kedaulatan yang dipegang oleh rakyat. Tapi efek jeleknya adalah ada kesan Jakarta menjadi arena yang menyeramkan dengan hadirnya ribuan anggota polisi, TNI, dan polisi PP yang disebar di berbagai fasilitas strategis pemerintah dan titik-titik terkonsentrasinya massa pengunjuk rasa.
Mungkin kalau menilik imbauan Wapres tadi, untuk menciptakan suasana riang gembira, pemerintah seharusnya menggelar panggung-panggung hiburan dengan penampilan artis-artis ibukota, taushiyah dari Ustadz Jeffry, atau pembagian nasi kotak. Jadi suasana yang suka cita sekaligus khidmat bisa tercapai. Ibaratnya, orang dalam suasana kenyang pasti bisa berpikir dengan jernih. Sedangkan dengan pikiran jernih, niscaya tidak ada keinginan untuk berbuat rusuh apalagi sampai menghancurkan fasilitas negara.
Di mana ada kumpulan manusia, di situ tempat para pedagang menggelar dagangannya. Saat para pekerja merencanakan program dan yel-yel yang akan disajikan saat demo, para pedagang juga mempersiapkan diri untuk meraih sebanyak-banyaknya keuntungan. Mengail di air keruh? Tentu tidak. Hanya rejeki halal yang mereka cari. Lagipula mereka menyediakan apa yang dibutuhkan para peserta demo. Teh botol, roti, rokok, dan tisu tentu akan membantu para peserta untuk bertahan menjalani demo yang berat di bawah panas terik.
Tapi mereka tidak hanya mengharapkan keuntungan dari peserta demo. Wartawan yang meliput kejadian akbar ini pun bisa menikmati teh botol dingin yang dijual oleh para pedagang. Banyak pula warga yang menjadikan arena unjuk rasa ini sebagai ajang rekreasi. Jaminan keamanan dari pemerintah membuat mereka tak khawatir mengajak anak dan istri untuk duduk-duduk santai sambil melihat kemeriahan suasana MayDay.
Kalau 1 Mei sampai dijadikan hari libur, mungkin ada bagusnya kalau kita isi dengan melihat acara perayaan secara langsung. Pasti ini pula yang jadi harapan para pedagang. Makin aman acara, makin meriah dan ramai peserta dan penonton, pasti makin banyak dagangannya yang laku. Analis sosial politik yang paranoid mungkin berpikiran jangan-jangan para pedagang inilah yang berada di balik setiap kejadian demo.
Kalau ada hujan turun kemarin jangan bilang anggota DPR ketakutan akan kedatangan para pengunjuk rasa lalu berinisiatif untuk mengerahkan pawang hujan untuk menghela awan agar hujan turun di Jakarta, tepatnya di titik-titik berkumpulnya peserta demo yakni di Senayan dan Bundaran HI. Itu semua tak lain restu dari Allah SWT yang tak ingin makhluknya yang hidupnya menderita berpanas-panasan dalam memperjuangkan nasih mereka. Hujan yang turun adalah untuk menyegarkan para peserta demo sehingga dalam suasana yang lebih dingin dan khidmat, mereka bisa mengendalikan diri dari keinginan untuk berbuat anarkis. Selain itu, hujan adalah kesempatan yang diberikan Allah agar para pengojek payung bisa kebagian rejeki dari demo barang seribu dua ribu perak.
Antisipasi Polri memang tidak berlebihan apalagi jika melihat peserta demo yang sampai ratusan ribu itu. Ibaratnya, kalau wakil rakyat turun ke jalan saja pasukan pengamannya bisa belasan. Apalagi ini, rakyat yang turun ke jalan. Jadi anggap saja tindakan yang diambil oleh Polisi ini adalah dalam rangka menghormati kedaulatan yang dipegang oleh rakyat. Tapi efek jeleknya adalah ada kesan Jakarta menjadi arena yang menyeramkan dengan hadirnya ribuan anggota polisi, TNI, dan polisi PP yang disebar di berbagai fasilitas strategis pemerintah dan titik-titik terkonsentrasinya massa pengunjuk rasa.
Mungkin kalau menilik imbauan Wapres tadi, untuk menciptakan suasana riang gembira, pemerintah seharusnya menggelar panggung-panggung hiburan dengan penampilan artis-artis ibukota, taushiyah dari Ustadz Jeffry, atau pembagian nasi kotak. Jadi suasana yang suka cita sekaligus khidmat bisa tercapai. Ibaratnya, orang dalam suasana kenyang pasti bisa berpikir dengan jernih. Sedangkan dengan pikiran jernih, niscaya tidak ada keinginan untuk berbuat rusuh apalagi sampai menghancurkan fasilitas negara.
Di mana ada kumpulan manusia, di situ tempat para pedagang menggelar dagangannya. Saat para pekerja merencanakan program dan yel-yel yang akan disajikan saat demo, para pedagang juga mempersiapkan diri untuk meraih sebanyak-banyaknya keuntungan. Mengail di air keruh? Tentu tidak. Hanya rejeki halal yang mereka cari. Lagipula mereka menyediakan apa yang dibutuhkan para peserta demo. Teh botol, roti, rokok, dan tisu tentu akan membantu para peserta untuk bertahan menjalani demo yang berat di bawah panas terik.
Tapi mereka tidak hanya mengharapkan keuntungan dari peserta demo. Wartawan yang meliput kejadian akbar ini pun bisa menikmati teh botol dingin yang dijual oleh para pedagang. Banyak pula warga yang menjadikan arena unjuk rasa ini sebagai ajang rekreasi. Jaminan keamanan dari pemerintah membuat mereka tak khawatir mengajak anak dan istri untuk duduk-duduk santai sambil melihat kemeriahan suasana MayDay.
Kalau 1 Mei sampai dijadikan hari libur, mungkin ada bagusnya kalau kita isi dengan melihat acara perayaan secara langsung. Pasti ini pula yang jadi harapan para pedagang. Makin aman acara, makin meriah dan ramai peserta dan penonton, pasti makin banyak dagangannya yang laku. Analis sosial politik yang paranoid mungkin berpikiran jangan-jangan para pedagang inilah yang berada di balik setiap kejadian demo.
Kalau ada hujan turun kemarin jangan bilang anggota DPR ketakutan akan kedatangan para pengunjuk rasa lalu berinisiatif untuk mengerahkan pawang hujan untuk menghela awan agar hujan turun di Jakarta, tepatnya di titik-titik berkumpulnya peserta demo yakni di Senayan dan Bundaran HI. Itu semua tak lain restu dari Allah SWT yang tak ingin makhluknya yang hidupnya menderita berpanas-panasan dalam memperjuangkan nasih mereka. Hujan yang turun adalah untuk menyegarkan para peserta demo sehingga dalam suasana yang lebih dingin dan khidmat, mereka bisa mengendalikan diri dari keinginan untuk berbuat anarkis. Selain itu, hujan adalah kesempatan yang diberikan Allah agar para pengojek payung bisa kebagian rejeki dari demo barang seribu dua ribu perak.
Comments