Jalan-Jalan ke Bandung (II): ITB Big Band Concert
Janji untuk bertemu dengan Metta ternyata sulit dipenuhi. Gw datang terlambat hampir setengah jam, sehingga sesi Big Band Waditra Ganesha dan permainan pianonya terlewatkan. Setelah berusaha menghubungi dia via hanphone untuk minta maaf tidak berhasil juga, akhirnya gw memilih untuk duduk santai untuk menikmati sesi-sesi berikutnya.
Sesi kedua adalah penampilan dari 76 Big Band dari Universitas Pelita Harapan. Yang menarik dari penampilan mereka adalah keberanian mereka untuk membawakan komposisi-komposisi karya sendiri yang disuguhkan dengan aransemen yang canggih.
Vokalis sekaligus gitaris big band ini, Endah, juga menampilkan kemampuan mengolah suara dengan lihai, terutama untuk nomor 'I want to be like Mozart'. Nomor yang merupakan hasil karyanya sendiri ini dibangun atas tema melodi 'ABC' atau 'Twinkle Twinkle Little Star' dan digubah sedemikian rupa sehingga membawa rasa yang sama sekali baru.
Di sesi berikutnya, tampil El-Be Big Band. Nama band ini terinspirasi dari nama ruang di Universitas Pendidikan Indonesia, yakni aula serba guna yang sekaligus menjadi tempat latihan mereka. Musik jazz akhirnya menjadi minat mereka bermusik yang akhirnya memperluas repertoar musik yang dapat mereka bawakan di setiap penampilan mereka.
Satu-satunya wanita di El-Be Big Band yakni sang vokalis Intan membawakan dengan gayanya sendiri dua nomor standar jazz 'Someone to Watch Over Me' dan 'Sasha, Mischa, Toscha, Jascha' secara berturut-turut. Lesung pipinya itu lho.
Big Band yang beranggotan para ekspat Jepang yang ada di Indonesia, Galaxy Big Band, mengisi sesi berikutnya. Sapaan selamat malam dari Kensuke Umemura-San disambut hangat oleh para penonton yang memenuhi aula utama Sasana Budaya Ganesa. Umemura mengaku bahwa dia diminta maju oleh kawan-kawannya untuk memberi sedikit sambutan berhubung dia yang paling mahir berbahasa Indonesia.
Ternyata dia bukan hanya mahir berbahasa Indonesia. Permainan basnya juga menakjubkan, memperkuat rhythm dari setiap nomer yang dibawakan oleh Galaxy. Selain penampilan bas solo, di nomor-nomor berikutnya seperti 'Donna Lee', muncul juga penampilan solo trumpet, alto sax dan tenor sax. Kelebihan dari band ini adalah kontrol suara yang lebih bagus sehingga masing-masing section tidak saling menutupi.
Setelah rehat selama setengah jam, acara dilanjutkan kembali dengan penampilan dari Van Alloy Big Band. Sekumpulan alumni Waditra Ganesha Big Band dari berbagai angkatan bergabung membentuk kelompok musik dengan motto 'we are not musicians, we are a bunch of engineers who think we are good enough to play'. Alasan yang bagus untuk mengantisipasi kemungkinan permainan yang kacau.
Tetapi tidak ada yang kacau dari permainan mereka. Tempat tinggal yang saling berjauhan mungkin menyebabkan mereka hanya menampilkan nomor-nomor easy listening atau, kasarnya, gampang tetapi kejutan-kejutan penuh canda yang mereka tampilkan sangat menghibur. Misalnya di nomor 'How High the Moon', saat pianis memainkan bagian solo lebih panjang dari 1 x 8 bar, para pemain pura-pura kesal sampai para vokalis berkacak pinggang dan para peniup trumpet malah menerbangkan pesawat-pesawatan dari kertas. Humor yang ringan dan mengena.
Malam itu ditutup dengan penampilan yang luar biasa hebat dari Syaharani dan Queen Firework Project. Mereka membawakan sejumlah nomor, seperti kaya mereka sendiri 'Oh' dan 'Mungkin Indah' serta nomor bossa nova klasik karya Antonio Carlos Jobim yakni 'Corcovado'. Seperti biasanya lagu klasik, lagu ini diaransemen oleh Queen Firework Project dalam bentuk yang sama sekali baru. Ritme drum dan bass yang penuh sinkop ditingkahi pula dengan unsur musik elektronika yang diramu oleh DJ yang bekerja di laptop.
Setelah empat nomor yang meriah, Syaharani mengundang para pemain dari Big Band yang telah muncul sebelumnya untuk naik ke panggung dan bergabung dengan Queen Firework dalam suatu jam session. Endah dan Intam, bersama seorang flutis dan saxophonist memenuhi ajakan tersebut dan dengan mahir bersama-sama membawakan 'Summer Time'. Kedua vokalis bersama Syaharani berbagi bagian dalam membawakan lirik yang sederhana namun kuat tersebut, masing-masing dengan gayanya. Endah, misalnya, berani menampilkan scat singing yang menjadi ciri khas penampilannya malam itu. Intan membawakan dalam bentuk asli melodinya sementara Syaharani meningkahi dengan improvisasi yang matang. Sang flutis dan saxophonis juga bergantian, bahkan dalam beberapa kesempatan bermain bersahut-sahutan, menampilkan improvisasi melodi di atas chord progression nomor bernuansa blues ini. Berhubung suasananya sangat santai, si flutis juga tidak ragu-ragu meningkahi lagu jazz ini dengan melodi dari flutenya yang mengingatkan akan bunyi suling Sunda. Benar-benar mengingatkan hadirin semua bahwa ini adalah jazz rasa Indonesia, tepatnya rasa Parahyangan.
Selepas jam session yang semestinya jadi penutup penampilan Syahrani bersama bandnya, penonton meminta satu nomor lagi sebagai encore. Untuk memenuhinya, penyanyi cantik ini membawakan satu nomor bossa nova (Lagi-lagi nomor kesukaan gw!) karya Jobim, yaitu Desafinado. Yang membuat gw tambah jatuh cinta adalah Syahrani membawakannya dalam versi bahasa portugis, yang menurut gw menambah aura romantis.
Sesi kedua adalah penampilan dari 76 Big Band dari Universitas Pelita Harapan. Yang menarik dari penampilan mereka adalah keberanian mereka untuk membawakan komposisi-komposisi karya sendiri yang disuguhkan dengan aransemen yang canggih.
Vokalis sekaligus gitaris big band ini, Endah, juga menampilkan kemampuan mengolah suara dengan lihai, terutama untuk nomor 'I want to be like Mozart'. Nomor yang merupakan hasil karyanya sendiri ini dibangun atas tema melodi 'ABC' atau 'Twinkle Twinkle Little Star' dan digubah sedemikian rupa sehingga membawa rasa yang sama sekali baru.
Di sesi berikutnya, tampil El-Be Big Band. Nama band ini terinspirasi dari nama ruang di Universitas Pendidikan Indonesia, yakni aula serba guna yang sekaligus menjadi tempat latihan mereka. Musik jazz akhirnya menjadi minat mereka bermusik yang akhirnya memperluas repertoar musik yang dapat mereka bawakan di setiap penampilan mereka.
Satu-satunya wanita di El-Be Big Band yakni sang vokalis Intan membawakan dengan gayanya sendiri dua nomor standar jazz 'Someone to Watch Over Me' dan 'Sasha, Mischa, Toscha, Jascha' secara berturut-turut. Lesung pipinya itu lho.
Big Band yang beranggotan para ekspat Jepang yang ada di Indonesia, Galaxy Big Band, mengisi sesi berikutnya. Sapaan selamat malam dari Kensuke Umemura-San disambut hangat oleh para penonton yang memenuhi aula utama Sasana Budaya Ganesa. Umemura mengaku bahwa dia diminta maju oleh kawan-kawannya untuk memberi sedikit sambutan berhubung dia yang paling mahir berbahasa Indonesia.
Ternyata dia bukan hanya mahir berbahasa Indonesia. Permainan basnya juga menakjubkan, memperkuat rhythm dari setiap nomer yang dibawakan oleh Galaxy. Selain penampilan bas solo, di nomor-nomor berikutnya seperti 'Donna Lee', muncul juga penampilan solo trumpet, alto sax dan tenor sax. Kelebihan dari band ini adalah kontrol suara yang lebih bagus sehingga masing-masing section tidak saling menutupi.
Setelah rehat selama setengah jam, acara dilanjutkan kembali dengan penampilan dari Van Alloy Big Band. Sekumpulan alumni Waditra Ganesha Big Band dari berbagai angkatan bergabung membentuk kelompok musik dengan motto 'we are not musicians, we are a bunch of engineers who think we are good enough to play'. Alasan yang bagus untuk mengantisipasi kemungkinan permainan yang kacau.
Tetapi tidak ada yang kacau dari permainan mereka. Tempat tinggal yang saling berjauhan mungkin menyebabkan mereka hanya menampilkan nomor-nomor easy listening atau, kasarnya, gampang tetapi kejutan-kejutan penuh canda yang mereka tampilkan sangat menghibur. Misalnya di nomor 'How High the Moon', saat pianis memainkan bagian solo lebih panjang dari 1 x 8 bar, para pemain pura-pura kesal sampai para vokalis berkacak pinggang dan para peniup trumpet malah menerbangkan pesawat-pesawatan dari kertas. Humor yang ringan dan mengena.
Malam itu ditutup dengan penampilan yang luar biasa hebat dari Syaharani dan Queen Firework Project. Mereka membawakan sejumlah nomor, seperti kaya mereka sendiri 'Oh' dan 'Mungkin Indah' serta nomor bossa nova klasik karya Antonio Carlos Jobim yakni 'Corcovado'. Seperti biasanya lagu klasik, lagu ini diaransemen oleh Queen Firework Project dalam bentuk yang sama sekali baru. Ritme drum dan bass yang penuh sinkop ditingkahi pula dengan unsur musik elektronika yang diramu oleh DJ yang bekerja di laptop.
Setelah empat nomor yang meriah, Syaharani mengundang para pemain dari Big Band yang telah muncul sebelumnya untuk naik ke panggung dan bergabung dengan Queen Firework dalam suatu jam session. Endah dan Intam, bersama seorang flutis dan saxophonist memenuhi ajakan tersebut dan dengan mahir bersama-sama membawakan 'Summer Time'. Kedua vokalis bersama Syaharani berbagi bagian dalam membawakan lirik yang sederhana namun kuat tersebut, masing-masing dengan gayanya. Endah, misalnya, berani menampilkan scat singing yang menjadi ciri khas penampilannya malam itu. Intan membawakan dalam bentuk asli melodinya sementara Syaharani meningkahi dengan improvisasi yang matang. Sang flutis dan saxophonis juga bergantian, bahkan dalam beberapa kesempatan bermain bersahut-sahutan, menampilkan improvisasi melodi di atas chord progression nomor bernuansa blues ini. Berhubung suasananya sangat santai, si flutis juga tidak ragu-ragu meningkahi lagu jazz ini dengan melodi dari flutenya yang mengingatkan akan bunyi suling Sunda. Benar-benar mengingatkan hadirin semua bahwa ini adalah jazz rasa Indonesia, tepatnya rasa Parahyangan.
Selepas jam session yang semestinya jadi penutup penampilan Syahrani bersama bandnya, penonton meminta satu nomor lagi sebagai encore. Untuk memenuhinya, penyanyi cantik ini membawakan satu nomor bossa nova (Lagi-lagi nomor kesukaan gw!) karya Jobim, yaitu Desafinado. Yang membuat gw tambah jatuh cinta adalah Syahrani membawakannya dalam versi bahasa portugis, yang menurut gw menambah aura romantis.
Comments
Terima Kasih, feedbacknya sangat bermanfaat