Another Thought about Busway
Kemaren, saat melewati sebuah ruas jalan Sudirman antara Semanggi dan Blok M, gw sempet terkagum-kagum sama pembangunan jalur Bus Way.
Bangunan haltenya kayaknya bagus juga: model loket di gerbang tol yang masif dan ber-AC bikin penumpang yang lagi nunggu Transjakarta berasa kayak di akuarium. Apalagi dilengkapi dengan jembatan penyebrangan yang dibangun dengan tangga yang super landai yang konsekuensinya bikin jarak berjalan bertambah tiga kali lipat. Baguusss! Sebagai kompensasi dari penghancuran terstruktur jalur hijau kota, komandan proyek ini ternyata melakukan pengindahan tanah-tanah yang tersisa di antara setiap halte dengan mengisi setiap sentinya dengan tanaman hias yang telah mengalami pembinaan khusus supaya bisa tahan menghisap timbal, NOx dan SOx.
Warna busnya lumayan eye-catching: merah metalik. Mungkin disesuaikan juga dengan warna yang mungkin masih dominan dalam curi start kampanye pemilu 2004. Tapi sepertinya sekarang udah nggak jamannya lagi mengasosiasikan sebuah warna dengan partai politik berhubung 24 partai politik yang ikut pemilu tahun ini harus mengakui bahwa satu warna harus dipakai oleh lebih dari satu partai.1
Para pengemudi kendaraan pribadi yang harus berbagi jalur dengan Busway harus menyiapkan cacian-cacian baru setiap hari (baca: Curse Words of the Day) berhubung bakalan makan hati berton-ton karena susahnya mencari U-Turn yang sekarang sudah ditutup oleh jalur beton bercat kuning.2
Bukan gw doang yang cemas-cemas harap menanti realisasi BusWay. Para supir yang sedang dididik dan dilatih di Diklat supir Busway juga tengah menanti-nanti kepastian gaji 2 juta rupiah yang katanya bakalan mereka terima (baca: koran Tempo Senin 12 Januari 2004). Mereka mengakui akan mundur teratur jika gaji dan iming-iming tersebut ternyata tidak bisa dipenuhi oleh Pemda.
Rupanya pemda DKI c.q. dinas Sosialisasi Program Muluk-Muluk untuk mewujudkan Less Barbaric Jakarta masih percaya dengan hebatnya iklan. Jadi sosialisasi busway akhirnya disertai dengan gempuran iklan yang lucu-lucu di TV. Kayaknya dia belum baca "Matinya periklanan dan Bangkitnya PR" karya Al Ries. Mungkin ide dari iklan komikal itu tidak jauh dari ide ngebikin Busway yang emang buat lucu-lucuan aja.
Dalam hati gua mikir lagi, kenapa rencana besar untuk mengobati penyakit macet Jakarta dimulai dengan langkah-langkah yang kadar kontroversinya jauh lebih rendah seperti ngebenahin sistem komuter KRL Jabotabek yang tiap hari makin susah diprediksikan waktu keberangkatan dan kedatangannya itu. Bukannya lebih baik ngedatengin gerbong-gerbong baru yang pintunya masih bisa dibuka tutup secara elektronis (dan bukannya diganjel pake sendal jepit) dan besi pegangannya masih lengkap (biar nggak ada alasan buat berpegangan ke badan orang lain yang dalam beberapa kesempatan rawan akan pelecehan seksual dan penyebaran virus)? Gw kemudian menjawab sendiri pertanyaan bodoh itu. Headline Sutiyoso bersikukuh membangun Busway jauh lebih menjual, menjanjikan popularitas, dan memancing talkshow daripada Gerbong-Gerbong KRL Baru dari Bang Yos. 3
[1] Dari sekian juta (kira-kira 232, setidaknya di monitor gw) kemungkinan warna bisa dipilih, warna-warna yang dipilih oleh partai politik rupanya masih lebih sedikit dari 16. Jadi belum ada partai yang milih warnanya mauve, maroon, turquoise, fuchsia, teal, khaki, atau lime. Jadi kalo elu desainer logo partai, buat mencari ide yang beda silahkan cari di sini.
[2] FAQ tentang Busway di Jakarta
Tanya: Kenapa jalur bus way perlu dipisahin dengan blok beton warna kuning begitu?
Jawab: Karena kalo warnanya pink terlalu ganjen.
Tanya: Bukan soal kuningnya, d'oh! Kenapa sampe dibeton? Kenapa nggak dicat aja?
Jawab: Kalo pemisahnya cuma dicat doang ... Pertama, terlalu murah. Biaya ngecat tentunya menyediakan dana kemplangan yang lebih sedikit daripada biaya ngebeton dan ngecat. Kedua, siapa tahu ada calon penumpang yang pingin nyetop Busway di luar halte. Itu jalur beton menyediakan tempat yang manusiawi buat mereka yang betisnya kurang kuat memanjat jembatan penyebrangan yang (kalo ada orang yang cukup iseng ngitungin) jarak tempuhnya bisa sampe beratus-ratus meter itu. Ketiga, ... elu pasti belum pernah ngeliat orang Jakarta nyetir. Ato setidaknya elu belom pernah ngeliat orang Jakarta nyetir pas nggak ada orang yang ngeliatin dia. Orang Jakarta tuh nyangkain garis-garis di jalanan yang kadang-kadang putus-putus yang kadang-kadang kontinyu itu cuma hiasan doang supaya sopir nggak bosen ngeliatin jalan yang polos.
Pencari kebenaran, pergilah ke mari. Sepagian gw coba masuk ke sini, tapi mungkin masih asyik di-bombardir sama cracker yang anti-Busway.
[3] Masih kesel gara-gara tadi pagi kereta rusak. Harusnya selain pengumuman "Para penumpang KRL jurusan Manggarai-Kota, kami mohon maaf sehubungan rangkaian kereta mengalami gangguan di stasiun Lenteng Agung", stasiun Pasar Minggu juga melengkapinya dengan, "Bagi penumpang yang membutuhkan surat keterangan izin terlambat masuk kantor karena gangguan kereta api sesuai klausul force majeure, kami sediakan di loket 3."
Bangunan haltenya kayaknya bagus juga: model loket di gerbang tol yang masif dan ber-AC bikin penumpang yang lagi nunggu Transjakarta berasa kayak di akuarium. Apalagi dilengkapi dengan jembatan penyebrangan yang dibangun dengan tangga yang super landai yang konsekuensinya bikin jarak berjalan bertambah tiga kali lipat. Baguusss! Sebagai kompensasi dari penghancuran terstruktur jalur hijau kota, komandan proyek ini ternyata melakukan pengindahan tanah-tanah yang tersisa di antara setiap halte dengan mengisi setiap sentinya dengan tanaman hias yang telah mengalami pembinaan khusus supaya bisa tahan menghisap timbal, NOx dan SOx.
Warna busnya lumayan eye-catching: merah metalik. Mungkin disesuaikan juga dengan warna yang mungkin masih dominan dalam curi start kampanye pemilu 2004. Tapi sepertinya sekarang udah nggak jamannya lagi mengasosiasikan sebuah warna dengan partai politik berhubung 24 partai politik yang ikut pemilu tahun ini harus mengakui bahwa satu warna harus dipakai oleh lebih dari satu partai.1
Para pengemudi kendaraan pribadi yang harus berbagi jalur dengan Busway harus menyiapkan cacian-cacian baru setiap hari (baca: Curse Words of the Day) berhubung bakalan makan hati berton-ton karena susahnya mencari U-Turn yang sekarang sudah ditutup oleh jalur beton bercat kuning.2
Bukan gw doang yang cemas-cemas harap menanti realisasi BusWay. Para supir yang sedang dididik dan dilatih di Diklat supir Busway juga tengah menanti-nanti kepastian gaji 2 juta rupiah yang katanya bakalan mereka terima (baca: koran Tempo Senin 12 Januari 2004). Mereka mengakui akan mundur teratur jika gaji dan iming-iming tersebut ternyata tidak bisa dipenuhi oleh Pemda.
Rupanya pemda DKI c.q. dinas Sosialisasi Program Muluk-Muluk untuk mewujudkan Less Barbaric Jakarta masih percaya dengan hebatnya iklan. Jadi sosialisasi busway akhirnya disertai dengan gempuran iklan yang lucu-lucu di TV. Kayaknya dia belum baca "Matinya periklanan dan Bangkitnya PR" karya Al Ries. Mungkin ide dari iklan komikal itu tidak jauh dari ide ngebikin Busway yang emang buat lucu-lucuan aja.
Dalam hati gua mikir lagi, kenapa rencana besar untuk mengobati penyakit macet Jakarta dimulai dengan langkah-langkah yang kadar kontroversinya jauh lebih rendah seperti ngebenahin sistem komuter KRL Jabotabek yang tiap hari makin susah diprediksikan waktu keberangkatan dan kedatangannya itu. Bukannya lebih baik ngedatengin gerbong-gerbong baru yang pintunya masih bisa dibuka tutup secara elektronis (dan bukannya diganjel pake sendal jepit) dan besi pegangannya masih lengkap (biar nggak ada alasan buat berpegangan ke badan orang lain yang dalam beberapa kesempatan rawan akan pelecehan seksual dan penyebaran virus)? Gw kemudian menjawab sendiri pertanyaan bodoh itu. Headline Sutiyoso bersikukuh membangun Busway jauh lebih menjual, menjanjikan popularitas, dan memancing talkshow daripada Gerbong-Gerbong KRL Baru dari Bang Yos. 3
[1] Dari sekian juta (kira-kira 232, setidaknya di monitor gw) kemungkinan warna bisa dipilih, warna-warna yang dipilih oleh partai politik rupanya masih lebih sedikit dari 16. Jadi belum ada partai yang milih warnanya mauve, maroon, turquoise, fuchsia, teal, khaki, atau lime. Jadi kalo elu desainer logo partai, buat mencari ide yang beda silahkan cari di sini.
[2] FAQ tentang Busway di Jakarta
Tanya: Kenapa jalur bus way perlu dipisahin dengan blok beton warna kuning begitu?
Jawab: Karena kalo warnanya pink terlalu ganjen.
Tanya: Bukan soal kuningnya, d'oh! Kenapa sampe dibeton? Kenapa nggak dicat aja?
Jawab: Kalo pemisahnya cuma dicat doang ... Pertama, terlalu murah. Biaya ngecat tentunya menyediakan dana kemplangan yang lebih sedikit daripada biaya ngebeton dan ngecat. Kedua, siapa tahu ada calon penumpang yang pingin nyetop Busway di luar halte. Itu jalur beton menyediakan tempat yang manusiawi buat mereka yang betisnya kurang kuat memanjat jembatan penyebrangan yang (kalo ada orang yang cukup iseng ngitungin) jarak tempuhnya bisa sampe beratus-ratus meter itu. Ketiga, ... elu pasti belum pernah ngeliat orang Jakarta nyetir. Ato setidaknya elu belom pernah ngeliat orang Jakarta nyetir pas nggak ada orang yang ngeliatin dia. Orang Jakarta tuh nyangkain garis-garis di jalanan yang kadang-kadang putus-putus yang kadang-kadang kontinyu itu cuma hiasan doang supaya sopir nggak bosen ngeliatin jalan yang polos.
Pencari kebenaran, pergilah ke mari. Sepagian gw coba masuk ke sini, tapi mungkin masih asyik di-bombardir sama cracker yang anti-Busway.
[3] Masih kesel gara-gara tadi pagi kereta rusak. Harusnya selain pengumuman "Para penumpang KRL jurusan Manggarai-Kota, kami mohon maaf sehubungan rangkaian kereta mengalami gangguan di stasiun Lenteng Agung", stasiun Pasar Minggu juga melengkapinya dengan, "Bagi penumpang yang membutuhkan surat keterangan izin terlambat masuk kantor karena gangguan kereta api sesuai klausul force majeure, kami sediakan di loket 3."
Comments