Oleh Pengamen Ttg Pengamen

Kalau nggak ada bacaan, di jalan gw paling suka merhatiin perkembangan dunia musik jalanan. Gw masih inget dulu ada aturan tak tertulis: Setiap pengamen harus bisa nyanyi. Sekarang ini di Jakarta sepertinya susah menemui musisi jalanan yang profesional, yang tahu betul bahwa mengamen bukan asal mengeluarkan bunyi tapi harus betul-betul menghibur sehingga pendengar pun dengan senang hati memberikan bayaran. Kini gw seringkali merogoh kocek benar-benar cuma karena iba (atau mungkin di bawah kata-kata ancaman atau sekedar mengurangi beratnya uang koin di dompet), bukan karena gw merasa hiburan yang disuguhkan si pengamen memang pantas untuk dihargai dalam bentuk uang.

Selain itu kelihatan jelas kalau di antara mereka tidak ada koordinasi yang bagus. Contohnya bisa sampai empat pengamen bergantian naik untuk bernyanyi di atas satu bus dalam suatu rit. Kadang-kadang penyanyi kedua dan seterusnya memang sadar diri, jika dilihat dari ruas jalan yang sudah ditempuh dari terminal, mereka pasti bukan orang pertama yang menjajakan suara di bus itu. Tapi bagaimana dengan penumpang a.k.a pendengar? Seringkali penumpang bus sudah menghabiskan 'anggaran untuk musisi jalanan' (baca: uang receh yang berlebih yang terlalu berat untuk disimpan) bagi pengamen pertama, meskipun ia bernyanyi seadanya. Ternyata pengamen kedua yang naik jauh lebih niat, dengan gitar dan suaranya yang sebenarnya jauh lebih layak dihargai. Apa daya receh di kantong sudah tidak ada lagi. Akhirnya penampilannya yang bagus lewat begitu saja tanpa dibayar. Pada akhirnya mereka terpaksa menerapkan prinsip posisi menentukan rezeki, berebutan naik dari terminal.

Sampai dengan tulisan ini naik cetak, dalam pandangan gw pengamen di Bandung lebih niat. Jelas soalnya di sana memang gudangnya musisi. Walaupun motifnya sama-sama motif ekonomis, di sana jadi pengamen memang mesti bisa nyanyi dan main gitar sedangkan di Jakarta kualifikasi itu nggak ada. Mungkin musisi jalanan di sana kalo diekspor ke Jakarta bisa langsung masuk café atau bar.

Musisi Jalanan: Jakarta vs Bandung
Penampilan
Jakarta: sederhana, memang nggak punya dana untuk penampilan.
Bandung: jauh lebih gaya. Minimal jaket, bling-bling serta sepatu boot. rambut warna-warni, body piercing minimal satu.
Alat Musik
Jakarta: nggak penting. kalo ada gitar, syukur. kalo gak ada, tepok tangan juga jadi.
Bandung: gitar kudu wajib harus. kalo ngamen lebih dari seorang, masing-masing megang gitar rhythm sama melodi. kalo ada personel tambahan buat tepok tangan bolehlah.
Repertoire
Jakarta: terbatas. paling sering cuma dangdut, paling banter lagu nostalgia. Jarang yang top 40.
Bandung: up-to-date sesuai dengan chart Ardan FM 105,8 .


Ngamen sebagai hiburan

Di Dago, setiap malam akhir pekan, biasanya banyak anak-anak SMU atau kuliahan yang ngamen keroyokan di depan antrian mobil yang kena macet mulai dari perempatan Cikapayang sampe jalan Merdeka. Rame-rame gitu emang bikin lebih pede kali ya walaupun konsekuensinya mesti menuh-menuhin pembatas jalan. Berhubung rasa pede bisa sangat berlebihan, nggak cuma nyanyi yang mereka lakukan. Mereka juga melayani rikues untuk akrobat, break-dance, pantomim, dan happening art.

Gw masih penasaran untuk apa duit yang mereka dapetin. Kalo karena laper buat makan, mereka gak punya tampang anak kuliahan yang nggak mampu bayar uang kuliah. Yang paling mungkin adalah ngamen yang dikaitkan dengan kegiatan kampus. Biasanya dalam rangka pembinaan, para senior suka nyuruh junior-juniornya buat bikin usaha yang bisa mengumpulkan dana. Dana yang terkumpul mungkin buat jadi uang kas atau buat jadi modal untuk ngadain program lain. Caranya nggak nyusahin adalah dengan ngamen.

Atau dari sudut pandang lain, ngamen, baik untuk nyari duit ataupun tidak, bisa jadi hiburan sendiri bagi pelakunya. Tiga-empat anak kos jomblo yang nggak bingung mo malam mingguan ke mana, bosen cuman jalan-jalan BIP, ngebacain judul-judul buku di Gramedia Merdeka yang nggak bisa dinikmati dengan santai berhubungan ada larangan "dilarang baca sambil duduk", bosen trus-trusan nge-game, dan suntuk duduk berjam-jam di warnet terus, bisa seneng-seneng ngamen buat membunuh kebosanan dan melarikan diri sejenak dari tugas-tugas yang menumpuk. Uang cuma efek sampingan yang menyenangkan dari acara hanging out ini.

Rasa Senasib

Masih untung saya ini. Bukan cuma rate yang lumayan, gw juga bisa 'ngamen' di tempat yang adem, ditambah fasilitas antar jemput, plus all-you-can-eat lunch. Jadi jiwa kepengamenan ini masih sering tersentuh melihat ketidak beruntungan mereka yang bekerja di perempatan-perempatan di bawah terik matahari hanya untuk mendapat sedikit gemerincing uang receh di kantong bekas permen Kopiko. Jadi pernah sehabis memasukkan selembar uang seribuan ke dalam kantong yang disodorkan seorang pengamen di perempatan jalan Asia Afrika dekat hotel Preanger, seorang teman komentar, "Ke sesama pengamen sih mesti ngasih, ya Mar?" Gw cuma nyegir dan membatin. Betul juga. Mungkin perasaan senasib.

Comments

Popular Posts